Part 6

7 2 0
                                    

Aku sontak membuka mataku. Sudah jam 7 pagi. Ternyata semua itu hanya mimpi. Aku kembali berlinangan air mata. Aku benar-benar merindukan mereka berdua.

"Kak, mengapa kau menangis?"

"Aku rindu Ibu dan Taeyong. Sampai-sampai aku memimpikan mereka semalam. Hiks... Hiks..." aka kemudian memeluk Wendy erat.

"Ibu... Taeyong... Kembalilah... Ku mohon... Hidupku terasa hampa tanpa kehadiran kalian."

Aku terus teringat kejadian kemarin malam. Mulai ditemukannya potongan tangan Ibuku dan juga dibunuhnya Taeyong yang ku saksikan dengan mata dan kepalaku sendiri. Benar-benar menguras air mata. Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya mereka saat itu. Mereka disiksa dengan kejam dan setelah itu dimutilasi.

Aku terus teringat pula suara teriakan Taeyong yang hendak meminta pertolongan. Namun, naas sekali ia tidak bisa selamat. Ia dibunuh kemudian dimutilasi secara keji. Dan pembunuhnya mengambil bagian organ dalam Taeyong kemudian memakannya mentah-mentah. Aku sangat miris melihat kejadian itu. Terlebih saat salah satu bola mata Taeyong terlempar keluar dari tempatnya menabrak kaca jendela kamar yang ku tempati.

"Taeyong... Maafkan aku karena aku tidak menyelamatkanmu saat itu. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku, Taeyong. Maafkan aku."

Aku memeluk selembar foto Taeyong yang ditaruh Wendy diatas meja dekat ranjang.

"Maafkan aku karena akulah penyebab kematianmu. Seharusnya aku tidak berkata bahwa aku takut. Dengan begitu, kau akan terhindar dari marabahaya dan aku akan masih bisa melihatmu hari ini."

"Wendy, Ji Eun, ayo sarapan dulu." ajak Kak Hani dari luar kamar.

"Iya, Kak. Kita akan segera kesana. Kakak duluan saja." jawab Wendy masih terus merangkulku untuk menenangkanku.

"Lebih baik kita sarapan dulu, Kak. Kak Hani dan semuanya pasti sudah menunggu kita disana."

"Kalian saja yang makan. Aku sedang tidak nafsu makan. Aku terus menerus kepikiran tentang mereka berdua. Hiks... Hiks..."

"Taeyong! Ibu! Kembalilah! Kumohon pada kalian dengan amat sangat!" aku terus menangis sesunggukan seraya memandang langit-langit kamar.

"Sudah, Kak. Sudah. Mereka berdua telah tiada. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian mereka."

"Ini sangat berat buatku, Wendy. Aku tidak bisa hidup tanpa adanya mereka di dalam hidupku. Aku benar-benar tidak bisa."

"Wendy, Ji Eun, ayo kita sarapan dulu." ajak Kak Hani kembali dari luar yang tengah membawa semangkuk besar sup.

"Iya, Kak. Kita akan segera kesana." jawab Wendy.

"Ayo, kita sarapan dulu, Kak. Kau belum makan apapun sejak kemarin malam. Ini tidak akan baik untuk kesehatanmu. Kau bisa jatuh sakit."

"Jika Ibumu dan Taeyong melihatnya, pasti mereka akan sangat sedih melihat kondisi Kakak yang seperti ini. Terlebih jika Kakak sampai sakit akibat telat makan. Mereka pasti akan sedih dan mencemaskan Kakak disana. Mereka tidak akan bisa pergi dengan tenang ke alamnya."

"Jika kau tidak mau melakukan ini untuk dirimu sendiri, maka lakukan ini demi mereka berdua."

"Baiklah."

Aku dengan lemas beranjak dari ranjangku. Aku mengambil selembar tisu lalu aku gunakan untuk menghapus air mataku.

"Selamat pagi." sapa Wendy pada semua orang yang telah duduk di ruang makan.

"Pagi."

"Duduklah, Kak." Wendy menarik sebuah kursi untukku.

"Terimakasih."

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang