Part 3

19 3 3
                                    

Aku buru-buru mengambil tanda salib itu dan memasangnya kembali sembari mendorong pintu itu agar tertutup kembali. Namun, aku jatuh. Sejenak aku tak dapat bergerak. Seperti lumpuh rasanya. Pintu kamarku mulai terbuka. Aku dan Taeyong akan dalam bahaya!

Aku terus berusaha menggerakkan badanku. Aku juga berusaha menggapai rosario yang masih terpasang dalam gagang pintu itu. Sejenak kemudian aku berdoa. Kemudian aku bangkit dan buru-buru mengambil salib yang terjatuh itu dan memasangnya kembali. Berhasil! Pintu kamarku terkunci dengan aman kembali tepat sebelun terbuka lebih lebar lagi. Tak lupa aku kembali mengikatkan rosarioku pada gagang pintu itu dengan harapan rosarioku dapat memperkuat kunci itu.

Aku bernafas lega. Suasana kembali tenang. Lampu tak lagi berkedip. Aku meraih ponselku dan menghubungi Taeyong.

To : Taeyong

Taeyong, aku sangat takut.

From : Taeyong

Tunggu sebentar. Aku akan kesana. Jangan khawatir. Aku akan selalu menjagamu.

To : Taeyong

Bagaimana bisa? Kau sendiri bilang bahwa kita tidak bisa keluar dari kamar sebelum jam 6 karena jika tidak, maka hal itu akan membahayakan diri kita. Aku juga tidak ingin ada hal buruk yang terjadi padamu, Taeyong. Cukup temani aku melalu pesan singkat saja. Jangan membahayakan dirimu sendiri.

From : Taeyong

Tenang saja. Aku akan lewat jalur bawah tanah. Aku akan mengabarimu lagi saat aku sampai. Tunggu aku, ya!

Tiba-tiba saja bruk! Seperti terdengar suara orang terjatuh dan membentur lantai. Dan setelahnya kudengar suara tawa seram dari seorang wanita. Aku tidak tahu itu siapa. Yang jelas aku langsung kepikiran tentang Taeyong dan cemas jika suara tadi adalah ia yang terjatuh. Ah! Ini tidak boleh terjadi!

To : Taeyong

Taeyong, kau dimana? Aku mendengar suara orang jatuh terbentur lantai dan seorang wanita tertawa dengan suara yang amat menyeramkan! Aku harap kau baik-baik saja. Cepatlah kemari! Aku sangat mengkhawatirkanmu!

Ah! Terdengar sebuah teriakan dengan suara persis sam dengan Taeyong. Aka refleks menggigit kuku jari tanganku karena khawatir. Aku pun sampai menangis karena mencemaskan Taeyong. Aku terus berjalan mondar-mandir dalam kamar sembari sesekali mengecek ponselku.

Sudah 15 menit berlalu dan Taeyong sama sekali belum menjawab pesanku. Aku semakin mencemaskan keberadaan dirinya. Pikiranku mulai kacau. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Taeyong? Aku bersumpah aku tidak akan memaafkan diriku sendiri untuk itu. Karena akulah penyebab nekatnya Taeyong untuk pergi kemari untuk menjaga dan menemaniku. Andai aku tidak berkata bahwa aku takut, kemungkinannya sekarang ia sedang tidak dalam bahaya. Semua ini gara-gara aku! Aka benar-benar bodoh! Dan egois! Aku sangat bodoh! Nasi telah menjadi bubur. Aku hanya bisa berharap Taeyong akan sampai kemari dengan utuh dan selamat tanpa sedikitpun goresan di tubuhnya.

Ku dengar samar-samar jeritan seorang laki-laki yang seperti tengah kesakitan. Seperti menjerit meminta bantuan. Bersamaan dengan itu terdengar sebilah pisau yang seperti tengah menghunus sesuatu.

Malam ini semakin mencekam. Jam kuno diluar terus berdetak dengan kerasnya seolah tak mau berhenti. Diikuti suasa alunan piano seram yang berjudul "Funeral March" milik Chopin. Bulu kudukku terus berdiri. Lampu kembali padam. Semua tanda salib yang tergantung berjatuhan di lantai. Hancur remuk berserakan. Terai di belakangku tiba-tiba saja terhempas angin kencang yang membuatnya langsung terbuka dengan lebarnya. Memperlihatkan suasana luar yang terlihat menyeramkan. Jendela kamar yang semula bersih kini penuh akan bercak darah. Dari dalam aku melihat sosok yang familiar. Ia tengah dibopong oleh seorang pria misterius. Aka melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Pria itu meletakkan tubuh lelaki yang tak berdaya itu diatas tanah kemudian menembaknya tepat di kepalanya.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang