Enemies // Circumstances (can i love you);soul's

181 31 16
                                    

...

Enemies // Circumstances :(can I love you)

Enemies // Circumstances :(can I love you)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Enemies // Circumstances part58: soul's
.
.
.

Taeyeon menggenggam gagang pintu dengan ekspresi bingung, kedua matanya menatap lurus manik hitam milik sang adik yang beberapa saat lalu masih mengedor-gedor pintu kamar.

Diantara cahaya lorong yang remang gadis itu melihat wajah adiknya basah oleh air mata dan kemudian dengan suara serak berucap hal aneh, "apa kita... masih bisa terselamatkan—" Taeyeon bungkam sama sekali tak ada kata yang dapat ia pikirkan untuk menjawab pertanyaan itu.

Ia melongok ke dalam kamar, mendapati jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah dua pagi, "kau pergi dan kita tak pernah bertemu lagi, dalam mimpi ku... Aku begitu membenci mu." Suara gemetar itu kembali terdengar, Taeyeon menoleh pada adiknya lagi.

Menemukan perasaan ganjil yang menyakitkan dalam kedua bola mata hitam gadis lain, menemukan dirinya ikut hancur bersama perasaan itu, tulang punggungnya menenggang. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Apa yang Tiffany mau? Apa yang bisa mereka harapkan?.

Pikiran berkecamuk dalam kepalanya; Taeyeon menghela nafas.

Menggepalkan tangan, mati-matian membunuh tekanan dan desakan untuk menarik Tiffany kedalam dekapan. "itu... cuma mimpi, kembalilah ke kamar mu. Aku..." Taeyeon meringis, benar-benar merindukan gadis di hadapannya ini. "Ingin tidur."

Tapi yang lebih muda malah tak menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari hadapannya, masih berdiri tegap dengan tatapan mata yang serasa menusuk tiap sisi tubuh Taeyeon, halisnya terpaut erat Taeyeon tahu adiknya sedang menahan marah tapi perasaan kekecewaan jauh lebih kuat menghantam tubuhnya.

"Terimakasih karena tak pernah menyerah, juga terima kasih karena tak pernah percaya pada ku." Ucapnya sebelum berlalu.

Taeyeon memejamkan mata, merasakan kekecewaan yang sama pada dirinya sendiri. Begitu sulit untuk jujur dan mengalah pada perasaan. Ego mereka telah menguasai semuanya.

Segala yang kita punya.

"Kau dan aku, berdua saja sampai kita tua. Sudah cukup kan."

Taeyeon berkedip empat kali, wajahnya terasa kebas dan Bengkak. Berapa banyak ia menangis semalam.

"Lakukan lah sampai kau merasa puas" Tiffany berkeling, kemudian memutar tubuh berlalu melewati Taeyeon yang duduk dengan tatapan tegas di atas sofa.

"Kau tak akan pernah menghentikan ku."

Sang adik menoleh lagi kemudian tersenyum, "jangan pernah berhenti, bahkan ketika nantinya aku sendiri yang menghentikan mu. Jangan pernah berhenti."

Pening. Taeyeon memejamkan matanya sebentar, sekelebat ingatan tentang Tiffany terus berdatangan. "Lagi pula aku masih belum ingin menyerahkan!" Taeyeon berteriak keras dalam kepalanya.

Menatap kosong pada jendela kamar, Taeyeon tersenyum kecil ingat akan harapan-harapan mereka saat itu.

Tentang mereka yang akan pergi dari tempat dimana mereka dibesarkan, pergi ke kota kecil dan memulai segalanya berdua. Hanya berdua. Hidup dan tinggal di rumah kecil bercat putih dengan serambi luas dan taman yang dipenuhi bunga-bunga kesukaan yoon-ah, Taeyeon yang membuka toko pastry kecil dan Tiffany akan menjadi guru di sekolah dasar sekitar.

"Merawat seekor kucing— atau anjing agar kita tak kesepian" ucap gadis dengan senyuman manis itu, Taeyeon terkekeh. Merasakan kecupan di seluruh bagian wajahnya.

"Tidakah itu menyenangkan?"

Miliaran sel dalam otaknya tertawa, sungguh lugu sekali impian-impian mereka dulu.

Taeyeon merunduk wajahnya bersembunyi dalam lipatan tangan. Nyeri tiap kali ingat Pertunangannya hanya tinggal beberapa jam lagi. Apa ini semua yang diinginkan Tiffany, apa adiknya sudah benar-benar menyerah. Apakah gadis itu sudah lupa akan perasaanya. Apa dia sungguh mencintai laki-laki sialan itu.

Apa sudah tak ada kesempatan untuk Taeyeon, apa segalanya harus berakhir seperti ini, meski hatinya mengatakan hal lain, Taeyeon kenal Tiffany, tahu betul apa-apa yang gadis itu rasanya. Ia tahu adiknya begitu mencintainya dan Taeyeon yakin seribu persen bahwa jauh di lubuk hati gadis itu dia masih mencintainya.

"Tapi dia sudah berpaling dari mu" wajah jung-yong saat mengatakan hal tadi kembali muncul, Taeyeon meringis, dia masih gadis yang dulu. Keras kepala. Di kunci dalam bilik seperti ini tak akan menghentikannya, tapi dia di sini.

Gagang pintu kamarnya diputar dari luar, seseorang dengan dres pink pucat berdiri di samping tempat tidur. Harum dan menyesatkan, Taeyeon mengintip dari balik lipatan tangan dan seperti Dejavu lagi, ia melihat gadis itu dengan bibir merah muda yang sudutnya sedikit tertekuk.

Wajah itu, Taeyeon terkekeh bangkit dan duduk di pinggir ranjang dengan banyak rasa harap, "Tiffany?."

"Ya" gadis itu menyaut dengan helaan nafas sedang Taeyeon tersenyum seperti orang gila karena rasa yang tak karuan dalam raganya. Ia meringis menggapai lengan sang adik kemudian berucap parau, "gomawo."

Tiffany menghela nafas lagi, mundur selangkah dengan gelengan pasti terang-terangan menolak sentuhan kakak perempuannya, "bukan Taeyeon."

"Hm?" Gadis satunya hanya bergeming, seolah diambang hayal dan kenyataan tubuhnya seakan-akan sedang ditarik keluar oleh seseorang.

"Abeoji meminta ku datang" matanya melirik sudut kamar, menghindar dari tatapan pasrah gadis yang duduk di sisi kasur itu, muak melihat Taeyeon yang seperti ini. "Kita sudah dewasa Tae, kita sama-sama tau akan berakhir seperti apa nantinya. Tolong jangan buat ini sulit untuk semua orang, aku hanya ingin menyelesaikan ini." Jelas gadis yang lebih muda, tapi Taeyeon malah terkekeh tampak tak ambil pusing dengan ucapan adiknya tadi.

"Maksud mu apa?" Iya bertanya masih dengan sisa-sisa tawa.

Tiffany diam sejenak, Kali itu ia memberanikan diri untuk membalas tatapan kakaknya. Menemukan manik hitam yang tampak lebih gelap dan kosong lalu melengos, "semalam kau mengamuk, lihat sekeliling mu Taeyeon. Tolong hentikan ini kau butuh bicara dengan seseorang—bukan aku" gadis dengan dress tadi berbalik cepat ketika Taeyeon akan menyela. "Tolong dewasalah sedikit". Pintanya agak memaksa.

Taeyeon menggeleng, merasakan tetesan hangat yang jatuh di permukaan kulit tangannya dan baru menyadari kalau salah satu dari mereka ada yang di perban. "tidak..." Sergahnya, Tiffany meringis menggigit bagian dalam bibirnya menahan diri untuk tidak menuruti kakaknya lagi, enggan untuk kembali merasa bersalah karna seperti yang Jessica bilang kemarin hal seperti itu hanya membuat Taeyeon semakin berharap, tidak ada waktu lagi cepat atau lambat ia harus memilih.

"Terserah" ucap sang adik di susul dengan engsel pintu yang tertutup.

Tega sekali

Taeyeon terkekeh, menoleh ke arah jendela kamar yang gorden dan kacanya sudah berantakan, kamar ini berantakan seberantakan pikiran dan hatinya saat ini. Jadi ini akhirnya, bukunya berakhir di sini, chapter terakhir dari cerita mereka. Yang Taeyeon kira tak akan pernah mendapatkan akhir.

"Sudahkan? Berarti semua yang berakhir di sini?" Taeyeon bergumam terbatuk sebentar kemudian menghela nafas amat dalam, menikmati setiap perih dan sesak yang bergemuruh dalam dada dan urat di tubuhnya sebelum nanti ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Key.

E n e m i e s // Circumstances : (Can I Love You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang