#7

4.8K 624 32
                                    

Hinata membiarkan air matanya menetes, mengalir bersama rintik hujan yang mengguyur tubuhnya. Bagaimana ia bisa lupa dan terlena dengan kehidupan yang ada di depan matanya.

Ia baru kehilangan satu-satunya sanak saudaranya, paman, bibi dan sepupunya di bunuh tepat di depan matanya. Ia tidak sempat menguburkan mereka dengan layak, ia bahkan tak tau dimana jasad mereka sekarang. Bagaimana ia bisa hidup seakan tidak ada yang terjadi?

"Hiks." Hinata terisak, tubuhnya bergetar karna tangisannya yang lolos, juga karna dinginnya air hujan yang terus menerus membasuh tubuhnya.

Pengar karna air yang masuk ke dalam hidung, juga masuk ke mata membuat matanya perih. Tapi air matanya enggan berhenti, di ikuti isakan-isakan yang lolos dari bibirnya yang mulai membiru.

.

Air hujan yang bercampur darah mengalir dari kaki Sarada dan Sasuke yang memandang Hinata dari kejauhan.

"Kenapa dia menangis?" Sarada bertanya bingung, ia melihat tubuh Hinata yang bergetar. "Padahal kita selalu mencoba memberi yang terbaik untuknya."

"Ia belum menganggap kita keluarganya, lagipula, ia dulu memohon kematiannya padamu. Menunjukkan betapa terlukanya batinnya, bahkan ia masih sering menangis di malam hari."

"Berapa kamera yang tou-san pasang di kamarnya?"

"Delapan."

"Tambah dua untuk kamar mandi, dan berikan padaku lima. Aku juga akan mengawasinya."

"Kenapa tidak kita biarkan dia pergi saja." Sasuke menahan bahu Sarada yang berniat akan mendekati Hinata. "Beri dia identitas baru, dan awasi saja dari jauh. Itu akan membuatnya lebih aman."

"Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?" Sarada berkata dengan kemarahan yang tak di sembunyikannya. "Bahkan jika aku harus menyerahkan nyawaku, akan ku berikan dengan senang hati." Sarada meninggalkan Sasuke dan melangkah mendekati Hinata.

"Hinata?" Sarada memanggil Hinata yang terduduk di tengah derasnya hujan.

"Sarada, kau sudah pulang?" Hinata tersenyum menatap Sarada yang juga memandangnya tanpa ekspresi.

"Jangan berpura-pura kuat, menangislah kalau kau ingin, kalau kau merasa semuanya terlalu berat, untuk kau rasakan sendiri. Kau boleh menangis."

Hinata mengangguk, memang sejak tadi air matanya tak berhenti mengalir, hanya bibirnya yang otomatis tersenyum saat ada orang lain di sampingnya.

"Aku, sekarang sendirian." Hinata berkata lirih.

Sarada meletakkan pedang yang tersarung di pinggangnya, ia juga melepas pistol di dadanya dan memeluk Hinata. "Aku. Aku keluargamu."

Hinata kehilangan kontrolnya, ia meraung, menangis, mencengkeram punggung Sarada yang tetap memeluknya dengan erat.

Satu yang tak Hinata ketahui, bahwa air mata Sarada juga tersamarkan oleh hujan.

.

Hinata menatap gelembung-gelembung yang membungkus tubuhnya tanpa minat. Ia meletakkan tangan kanannya yang masih terbungkus gips di luar bathup, di kursi yang telah di sediakan oleh Sarada. Ia melihat jari tangan kirinya yang sudah mulai keriput karna terus terendam dalam air.

Air yang semula agak panas kini mulai menurun suhunya, kantuk mulai mendatanginya saat pintu kamar mandi  di ketuk dan akhirnya pintunya pun terbuka. "Belum selesai?" Sarada datang dengan rambut basahnya.

"Sudah." Hinata menjawab singkat. Kini ia membiarkan Sarada memperlakukan tubuhnya dengan semaunya, ia mengikuti apa yang Sarada lakukan.

"Maaf, aku bersikap kekanak-kanakan." kata Hinata saat Sarada selesai memakaikannya piama yang baru mereka beli hari ini. "Aku bersikap tidak tau terima kasih dan terus menyusahkanmu."

Love ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang