#9

4.6K 606 68
                                    

"Kyaaa.... Hahaha..." Hinata tertawa senang saat Kakashi mendorong ayunannya sedikit lebih kencang, entah sejak kapan ayunan itu ada disana.

Seminggu sebelum Sasuke pergi, tak ada apapun di pohon itu. Kini tergantung sebuah ayunan, Sasuke pulang tiga hari yang lalu setelah pergi ke korea selama sepuluh hari.

Dan selama tiga hari ini, Hinata benar-benar membuatnya pusing. Gadis itu bahkan lebih sulit di urus di banding dengan Sarada yang berusia tujuh tahun.

Hinata terus menerus berlarian, ia tak pernah mengenakan alas kaki di udara yang dingin. Ia berlarian di atas rumput yang beku hanya dengan selembar rok, baju, dan jaket yang tipis.

Dan yang paling membuatnya kesal adalah, Naruto atau Kakashi yang selalu berada di dekat Hinata.

"Aduh." Hinata terduduk sambil memegangi pahanya. "Nona!" Kakashi berseru khawatir, pasti paha Hinata kembali sakit, karna tidak mungkin pulih secepat itu.

"Kakashi!" tangan Kakashi yang hendak menyentuh kaki Hinata terhenti. "Biar aku saja, kau pergilah." Sasuke membawa selimut, ia menyelimuti Hinata dan membawanya dalam pelukannya.

"Sasuke-san, aku bisa jalan sendiri." Hinata tenggelam dalam selimut yang Sasuke bawa.

"Jika Kakashi yang menggendong, kau tidak akan protes kan?" kata Sasuke ketus.

"Tentu saja tidak." jawab Hinata jujur.

"Kenapa tidak?" kata Sasuke memilik rasa penasaran yang mengganggu ini.

"Soalnya aku dan paman Kakashi tidak dekat, meskipun dia keren sekali."

"Kenapa kau memanggilnya paman?"

"Dia yang memintanya." Hinata bergetar karna dingin, tadi saat ia berlarian sama sekali tidak terasa dingin, tapi saat ia terbungkus selimut malah dinginnya semakin terasa.

"Aku dan Kakashi, siapa yang lebih keren?" tanya Sasuke, Sasuke bertanya, tapi tak mendapat jawaban dari Hinata.  Rupanya Hinata tertidur, bibirnya bergetar karna kedinginan.

Sasuke membawa Hinata ke kamarnya dan meletakkannya di atas ranjang, ia memandang Hinata yang terlelap disana, terasa sangat tepat meletakkan Hinata di atas ranjangnya. Hampir sama tepatnya dengan keberadaan sebuah vas bunga di tengah monotonnya sebuah ruangan.

Sasuke menyentuh pipi Hinata yang dingin bagai es, Sasuke menggesekkan kedua tangannya dan menangkup pipi Hinata. Berniat membuat pipi Hinata hangat, pandangan mata Sasuke lalu tertuju pada bibir Hinata yang jadi mengerucut, karna ia menekan kedua pipinya.

Mungkin tak apa, jika sedikit saja. Lagi pula tidak ada yang tau.

Sasuke mendekatkan wajahnya, mendaratkan bibir hangatnya pada bibir Hinata yang beku. Tidak apa-apa, lagi pula bibirnya kedinginan. Pikir Sasuke, ia menjauhkan wajahnya untuk melihat apa Hinata masih terlelap atau ada tanda-tanda jika ia akan bangun.

"Tou-san tidak ingin mengadopsi Hinata, tapi juga tidak ingin Hinata menjadi istri tou-san?" Sarada membanting pedang yang ia gunakan untuk berlatih tanding dengan sang ayah.

"Kalau suka, bilang saja dari pada nanti di embat orang. Tou-san kan tau tempat kita ini penuh dengan lelaki perkasa."

Rahang Sasuke mengatup keras saat ia mengingat perkataan Sarada, masa iya dirinya menyukai Hinata. Padahal ia ingat dengan jelas sosok Hinata kecil yang masih mengenakan popok.

Sasuke sampai tak sadar apa yang tengah terjadi, yang jelas saat ini tau-tau lidahnya sudah berada di dalam mulut Hinata, memaksa lidah pasif itu untuk mengikuti tarian lidahnya.

Love ShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang