...
"Jadi mau di Komplek aja?" Zhe bertanya ketika mereka sedang belajar mandiri di ruang bersama.
Titelnya sih begitu, tapi Shareina dan Yovan sudah goleran. Masih untung Shareina membaca buku rangkuman kecil untuk menyelamatkan nilai biologinya. Dagu Jeno pun sudah menempel pada meja. Walau masih (agak) fokus, sesekali matanya tidak mampu menahan kantuk.
"Nggak kondusif, nih." Abin tertawa. Mengalihkan atensi sebentar dari lembar matematika yang ingin ia mengerti. "Tapi boleh, kayaknya kemarin semua setuju buat ke Komplek, 'kan?"
"Malem-malem banget?" tanya Jeno tanpa bergerak dari text book.
Zhe dan Abin mengangguk. Tanpa mereka tahu, Shareina juga menyetujui dalam diam. "Mau kapan lagi?"
Karena hening dan tidak ada respon, Zhe menganggapnya sebagai persetujuan. Tidak ada pilihan lain, dan ini opsi terbaik. Gadis itu kembali fokus menekuni materi anatomi ketika Abin menguap lebar.
Mengambil ponsel, Abin terlihat mengutak-atik benda pipih itu. Zhe belum terdistraksi karena barangkali si pemuda hanya ingin menghibur diri.
Namun, Abin kemudian berbaring. Diletakkannya ponsel di dada setelah berpesan pada Zhe untuk membangunkannya setengah jam lagi.
"Hoam .... "
Agaknya, uapan Abin membuat Zhe terpengaruh. Berniat untuk tidur sebentar, tapi dia merasa terlalu kurang untuk bisa mendapat jatah istirahat dalam kesempitan seperti Abin. Nilai Abin dalam tiap pre-test selalu tinggi; bahkan fisikanya sanggup mengalahkan Shareina.
Zhe hanya merasa dia tidak pantas untuk istirahat.
"Demot?" tanya Jeno dari seberang sana.
Zhe melirik Shareina. Rupanya, buku Shareina sudah mencium wajah si gadis. Pastilah karib Zhe itu telah tewas terbuai mimpi.
Zhe mengangguk. "Makanya kamu dateng belajar nanti, ya? Kan bisa saling jaga biar nggak demot."
Menghela napas panjang, Jeno akhirnya menatap Zhe lurus. Ditepuknya ruang kosong di hadapan, mengisyaratkan agar Zhe lekas mengisinya.
"Ya udah, sini uji coba pengaruh eksistensi teman belajar terhadap tingkat motivasi seseorang."
...
"Datengnya bareng banget?"
Zhe menyesap es cokelatnya dengan pandangan penuh arti ketika Abin dan Shareina datang bersama; bedanya Abin cerah dan segar, sedang Shareina semalas biasa. Tak seperti si pemuda yang sibuk menjelaskan alasan kenapa mereka berangkat bebaregan, Shareina sudah meletakkan tas lantas memindai kedai-kedai di sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Dreams and Forgotten Feelings
Fiksi PenggemarIni bukan cerita muluk-muluk. Tidak ada kesedihan berlebih atau nyawa yang harus dikorbankan. Hanya dua tokoh utama, berjuang menggapai sesuatu nun jauh di sana. Mulanya niat mereka saling mendukung, berbagi semangat kala asa putus. Rasa saling memi...