2: Ayo Adaptasi!

117 21 5
                                    

"Jancuk*!"

Jujur, sekasar-kasarnya Shareina, gadis itu masih kaget ketika disambut oleh umpatan saat pagi hari. Bukan untuknya, jelas, karena Yovan bahkan tidak menyadari presensi si gadis. Namun, tetap saja membuat Shareina tersentak.

"Eh, Tuhan, Rei." Yovan mendongak ketika Shareina mendorong kursi untuk diduduki. Baru hari kedua intensif, sudah seterlambat ini, namun hanya Yovan dan Shareina yang hadir di kelas.

Yovan mengacak rambut silvernya frustrasi. Pelan-pelan, dia beranjak lantas menaruh buku begitu saja di hadapan Shareina. "Fisika ini gimana seh, mana aku ketiduran lagi semalem."

Mengerjap, Shareina diam sebentar sebelum mengeluarkan pre-test miliknya. "Lha nggak dibangunin Abin?"

"Sepuluh missed calls." Yovan mengacungkan seluruh jari tangan sebagai penegasan. "Tapi aku nggak denger blas. Padahal udah kayak konser, kata cece*."

Menit berikutnya, Yovan sudah menekuni lembar jawaban Shareina. Tidak tahu paham benar atau cuma menyalin. Shareina malas kalau dia harus inisiatif menjelaskan. Toh, sudah berbaik hati menawarkan bantuan dengan memberi Yovan kesempatan untuk bertanya.

Pemuda itu terlihat mengantuk. Bulir air mata (mungkin bekas menguap, masa iya dia menangis demi fisika?) masih terlihat di sudut mata.

Sebenarnya, Shareina juga lelah sekali. Jika tidak memaksa mandi setelah fajar menyingsing, mungkin dia masih berselimut tebal menikmati dingin AC di tengah pengap Surabaya.

"Rajin banget, gini takut gue ambis."

Abin datang, diikuti Zhe yang entah kenapa bebarengan dengan munculnya Jeno. Curiga mereka bertiga bertemu di bawah lalu beli sarapan barengㅡterlihat dari bungkus roti sosis yang sama.

Shareina sudah meletakkan kepala di meja guna mendapat tidur sejenak, tetapi sosok lain tiba-tiba muncul di belakang Jeno. Pelajaran pertama hari ini matematika, dan tentor mereka terlihat mungil saat bersanding dengan badan bongsor Zhe, Abin, dan Jeno. Wajar saja jika presensinya tak berasa, apalagi ketika berbaris dalam satu saf.

Mas Wahyu, si tentor, memulai pelajaran dengan senyum ceria. Tangannya menengadah tanda pre-test harus lekas dikumpulkan.

"Gimana pre-test-nya? Ada yang mau ditanyakan?"

...

"Makan, yuk!" Zhe mengajak dari ujung ruang. Masih menunggu orang keluar untuk akses, tapi suaranya cukup untuk didengar satu kelas.

Tiga pemuda saling bersahutan, antara "iya" atau "nanggung, satu soal lagi, janji". Shareina sudah terlalu lelah untuk tahu siapa berkata apa. Ketika pandangannya mulai gelap, seseorang mencubit jarinya pelan.

Hampir saja Shareina menyalak kalau wajah Abin tidak terlalu dekat, menatapnya khawatir. "Nggak makan?"

"Duh, ngantuk banget, jujur. Aku makan habis ini aja, deh. Duluan, duluan." Shareina mengibaskan tangan, bersiap tidur lagi.

Bagai bungkuk merindu bulan, memang kesempatan tidur selalu tidak tersedia di waktu yang tepat bagi Shareina. Belum sempat dagunya menyentuh meja, Zhe sudah memeluk dari belakang.

"Makan, makan! Kamu nggak sarapan sama makan siang lho, mau sakit apa gimana?"

Kalau Zhe sudah bersabda, dari pengalaman enam tahun Shareina mengenal gadis itu, tidak ada alasan menolak kecuali tiba-tiba harus masuk UGD.

...

Shareina tahu, dia harusnya fokus dengan makanan tersaji di hadapan. Namun, kepala Yovan yang jatuh memang menyita banyak perhatian.

Mengetahui tatapan Shareina yang intens, Jeno lantas menyikut kecil pinggang Yovan. Seperti ekspektasi, pemuda itu bangun gelagapan. "Hah apa, apa?"

"Makan, ih." Abin menunjuk dagu Yovan yang hampir masuk ke mangkok sotonya. "Dikit lagi lo ikutan jadi soto, 'kan."

Menguap, Yovan merilekskan badan yang kaku. Namun, tidak terlihat signifikan karena si pemuda masih sebeler biasanya; mungkin lebih parah.

"Gila weh, aku ngantuk pol. Ini baru sebentar, lho. Habis sebulan ini, aku tidur seminggu kali ya." Yovan menopang dagu sambil memainkan sotonya. "Mana tadi aku fisika nggak denger apa-apa .... emang kalian nggak ngantuk, ya?"

"Ya ngantuk. Tapi, eman*, bayar mahal lho, ayah ibumu. Kalau harus gap juga ... nggak rencana, sih. Lama. Nanti keburu tua soalnya mau kedokteran. " celetuk Zhe.

Yovan mengedikkan bahu. Tidak terlihat terbebani, hanya sekadarnya untuk menanggapi pernyataan Zhe.

Jeno? Dia hanya mengikuti arah konversasi. Tidak tidur, kok, matanya masih fokus melihat siapa yang berbicara. Beda dengan mata Shareina; itu sih, sudah tertutup setengah.

"Kamu bisa sih, kerja nggak kuliah." Shareina tiba-tiba bangun. Masih terlihat sedikit mengantuk, tapi omongannya pantas didengar. "Tapi masa iya mau ngewarisin perusahaan ayah nggak pakai gelar?"

Yovan gagap lagi. "Kok tahu ayahku punya usaha?"

Memutar netra hitamnya, Shareina menginjak Jordan Air yang Yovan kenakan.

"Menurutmu?"

...

ㅡㅡㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅡㅡㅡ

*jancuk: ungkapan yang dikategorikan kasar, namun sebenarnya bisa digunakan dalam berbagai situasi. mirip penggunaan "anjir" khusus tanah Jawa, utamanya Surabaya.

*cece: logat jawa dari jiejie (older sister in chinese)

*eman: sayang, menyayangkan sesuatu.

hehe how was it? i'd love to see your comment below ya, and slow down, sis, the plot is meant to be flowy because we got forever, right?

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang