Jeno: The Rights

24 4 4
                                    

Tak seperti biasa, siang itu Zhe dan kawan-kawan sudah duduk rapi di area istirahat samping kelas. Si gadis terlihat baik-baik saja, seolah wajah pucat dan tubuh lemas kemarin hanya mimpi belaka. Dia sedang tertawa bersama Shareinaㅡtaruhan sepuluh ribu, pasti menertawakan ketidaklolosan SNMPTN keduanya. Pasangan sahabat ini punya cara bercanda yang berbeda, dan Jeno tidak mau membantah kalau dia bersyukur bisa mengerti jalan pikir mereka.

"Jeno suwi* banget, antre ta?" tanya Yovan yang membawa sekotak donat, jangan tanya dari mana.

Senyum Jeno memudar perlahan. Dia sengaja berdiam di tengah tangga, mengulur waktu sebelum bertatap muka. Walau bisa mendengar semua hal yang dibicarakan teman-teman barunya, dia sedang tidak ingin berbincang, apalagi kalau tahu mereka semua menunggu untuk menyelematinya.

"Oi." Jeno memantapkan diri, pura-pura baru muncul dari kantin bawah.

"WEEEEH!"

"ASIK CALON DOKTER NIH!"

Itu Shareina dan Yovan, tentu saja. Mereka lebih heboh dari orang tua Jeno semalam. Dalam hati, pemuda itu bersyukur salah satu di antara keduanya tak membawa confetti.

Yang lain?

Abin terlalu diam untuk berteriak, sedang Zhe hanya tersenyum dan menatap Jeno dalam.

Duh.

"Udah eh," kata Abin, tepat sebelum Jeno kehabisan napas karena pelukan Yovan. "Untung aja es tehnya Jeno nggak tumpah."

Jeno mengangguk, mengucapkan terima kasih tanpa kata pada si jangkung di hadapan. Baru saja duduk, dia menangkap wajah Shareina sudah menyiratkan tanda tanya besar. Tanpa melihat pun, Jeno tahu aura yang sama sedang dipancarkan oleh kedua teman yang lain.

Sekejap, Jeno melirik Zhe. Gadis itu lagi-lagi hanya berbicara lewat tatap mata, seolah menunggu Jeno siap berbicara.

"Jadiㅡ"

"Jadi?" sela Shareina semangat. Sumpah, jika ini adalah konser idol, pasti Shareina tipe penggemar yang akan menginisiasi flash mob di tribun penonton.

Jeno memejamkan mata. Napasnya terhela panjang sebelum melanjutkan, "aku keterima ndek FK Unair."

Jeda satu detik. Jeno memperkirakan keheningan ini akan berlanjut sampai tiga detik kemudian.

Satu.

Duㅡeh?

Kelihatannya, Jeno terlalu meremehkan teman-temannya.

Yang pertama kali membuka sentuhan selamat adalah Zheㅡgadis itu menggenggam tangannyaㅡdiikuti oleh pelukan Abin dan acakan rambut dari Yovan. Shareina yang tak dapat menjangkau, hanya menggerakkan siku seolah dia yang berhasil menembus persaingan ketat SNMPTN.

"Kok lu nggak seneng sih, Jen?" tanya Abin, menangkap basah ekspresi kagok Jeno. "FK Unair loh! Lu minta disadarin ini bukan mimpi apa gimana?"

Jeno menoleh ke arah Abin, tersenyum kecil. "Bisa aja, Bin."

...

Soal itu, Jeno sudah mencubit pahanya hingga biru. Semalam, yang heboh adalah mama papa, sedang dia menampar diri sendiri sambil bolak-balik menekan tombol refresh. Takut sudah kepalang senang, eh terkena prank.

Setelah dua jam, Jeno menyerah membangunkan diri dari mimpi. Memang nyata dia diterima. Ponselnya yang tergeletak di sofa pasti sudah ramai karena pertanyaan dari teman.

Jeno beringsut mengambil ponsel, siap untuk memberikan kabar gembira. Namun, baru saja ia mengetik, ada satu notifikasi yang menghentikan jari-jarinya.

Eutwonia XII IPA 2
Hahaha belom. Sedih jg
buka medsos semuanya pd
dapet.

Kayak aku tok sing nggak
dapet.

Semangat rek.

Terdiam, Jeno menekan tombol hapus pada keyboard. Sasaran pertama kabar bahagia yang ia pikirkan adalah Zhe, entah kenapa. Mungkin karena seperjuangan, atau mungkin akal sehatnya sudah kacau karena si dara.

Biasalah, remaja.

FK tempat Jeno diterima adalah mimpi Zhe sejak lama. Gadis itu bisa sampai berbusa kalau bercerita. Jeno merasa jahat, tidak tahu diri kalau mengumumkan kebahagiaanya tanpa peduli konteksㅡseperti berdansa di atas kuburan orang lain.

...

"Kok loyo, Jen? Habis tenaga ya, udah party kemarin?" tanya Zhe ketika mereka berada di penghujung senja.

Jeno tinggal sedikit lebih lama dari keperluan seharusnya: untuk mengonfirmasi status dia dan minta izin tidak lagi datang intensif bimbel, demi mengantar Zhe ke kosan. Tidak ada ruginya, toh, dia tidak tahu kapan lagi akan punya kesempatan.

"Nggak enak ae, Zhe. Masa arek-arek* sedih tapi aku seneng?" jawab Jeno, mulai menyalakan mesin motor.

"Heh."

Zhe melipat tangan di depan dada. Agak lucu kalau dilihat, karena helm-nya sudah terpasang di kepala. Di kepala Jeno, terlintas pin bowling yang membuat pemuda itu tertawa.

"Lah, malah ngguyu*." Zhe kelihatannya tidak mood bercanda. Dia menatap Jeno lurus sebelum berkata, "jadi seneng itu hak lho, Jen. Kamu kan yo berusaha buat mertahanin nilai tiga tahun, berdoa siang malam buat masuk ke sana."

Jeno tertegun. Tidak pernah ada yang berkata padanya selugas ini; dia selalu berpikir dia egois, tapi kalimat Zhe membuatnya membatin: dia, atau dunia ini yang egois?

"Nek ada yang ngejekin kamu soalnya kamu bangga masuk FK, spill username-nya. Tak santet," lanjut Zhe serius, menampilkan gestur seperti sedang menusuk boneka voodoo.

Pat pat.

Tanpa sadar, Jeno mendaratkan tangan ke rambut Zhe. Pemuda itu tersenyum lebar untuk pertama kali sejak semalam, hingga bulan sabit terbit di parasnya.

"Jangan lucu-lucu, dong. Aku pacarin, lho "

Kalian pasti berpikir Zhe akan deg-deg-an setengah mampus dengan wajah seperti udang rebus.

Benar, sih. Yang kurang adalah sepanjang perjalanan ke kos, Jeno tengah mengutuk diri sendiri dalam hati, wajahnya pun tak kalah padam.

ㅡㅡㅡ

*Suwi: Lama.
*Arek-arek: Anak-anak.
*Ngguyu: Tertawa.

here to send apologies for not updating in a year, and also giving my best wishes for you, pejuang 2021!

kamu masing-masing punya hak yang sama untuk sedih dan bahagia, mari coba menghargai hasil masing-masing.

with love,
hi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang