4: Inevitable

84 16 8
                                    

"Aku wis gak punya otak."

Yovan mengawali sesi keluh kesahnya malam itu. Dengan segelas kopi dari merek ternama, dia dengan cepat memijit pelipis.

"Padahal aku bimbingan lak buat masuk PTN se, tapi malah gini. Tau gini aku pacaran ae dari SMA, pantangannya jelas."

Gadis di hadapan Yovan menggelengkan kepalanya. Banyak makna dari tatapan itu, Yovan terlalu bingung untuk menentukan yang mana.

"Terus? Mau ngapain? Mau pacaran ae, nggak usah belajar?" Yosephine, kakak Yovan, menatap pemuda itu datar. Tanpa ekspresi kecewa atau marah, tapi cukup untuk membuat aksi sedotan kopi Yovan terhenti. "Emangnya dia mau sama orang males kayak kamu?"

"Nek bisa milih, aku yo nggak mah suka sama orang sekarang. Sama orang yang baru seminggu kenal, lagi."

Yovan menghela napas. Dia benci dengan diri yang terlalu cepat menghakimi perasaan; tapi apa lagi kalau bukan suka? Yovan bukan noobies, ya, dalam hal perikeasmaraan begini.

Alyssa Shareina, gadis penuh kantuk yang selalu sangsi akan diri sendiri itu mengubahnya perlahan. Yovan tidak tahu apakah disadari orang lain, namun ketegasan ucapan Shareina: juga kebenarannya, membuat Yovan makin terpacu. Barusan, sang Papa bahkan terhenyak ketika mendapati dia belajar kimia organik dengan rajin.

Yovan tak enak hati ketika Abinㅡentah sengaja atau tidakㅡmendekati Shareina. Bahkan tidak suka dengan fakta bahwa rumah kos mereka berdekatan hingga punya alasan berangkat bersama ke SMA Komplek tiap malam. Sebaliknya, pemuda itu senang ketika Shareina ikut tidur dengannya, atau terpacu saat ia sedang ambisius, walau dalam naung ucapan "masa aku kalah sama Yovan?"

Dalam hati, Yovan juga tahu kalau Yosephine diam-diam pegal karena bualan tiap malamnya selalu tentang dua hal: capai karena materi dan Shareina.

"Ce Pipin," panggil Yovan. Matanya masih mengawang ke langit-langit kafe yang gelap.

Belum sempat Yosephine menjitak kepala adiknya, Yovan sudah melanjutkan. Pertanyaan yang membuat kepalan Yosephine terhenti di udara.

"Kalau ini bukan suka, apa wis?"

...

Desahan napas Shareina terdengar keras di ruang belajar mandiri yang sunyi. Di hadapannya, Abin sedang meringis bersalah. Meminta maaf karena Shareina harus menjelaskan soal sama sebanyak tiga kali.

"Gue kenapa sih ga bisa fisika sama sekali?" tanya Abin pada udara; atau diri sendiri. Pemuda itu mencoret-corer lembar latihan frustrasi.

"Lambemu*, pre-test aja kamu ngalahin aku. Tapi, ya, manusia kan punya kelebihan kekurangan, aku juga nggak bisa biologi." Shareina menanggapi sekaligus memeluk diri sendiri. Surabaya memang panas, tapi siapa sih yang punya kebijakan menyalakan AC ruang belajar mandiri sedingin ini?

Sebelum gadis itu sempat protes karena tidak enak, Abin sudah menyampirkan jaket abu-abu garis di pundaknya. Dia kemudian menunjuk hoodie tebal yang dikenakan, menyatakan bahwa kehilangan satu lapis pakaian hangat tidak akan mengganggu.

"Makasih, lho, Bin. Tapi aku capek. Tiduran dikit lah, yuk." Shareina menguap, menunjuk soal-soal biologi yang dijejalkan Abin padanya.

Hari ini, tinggal tersisa duo kwek-kwek karena tiga orang lain: Yovan, Zhe, dan Jeno sudah pulang ke rumah masing-masing. Besok try out perdana, semuanya memilih untuk mempersiapkan diri secara pribadi, jadi belajar kelompok malam ini ditiadakan.

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang