Ini bukan cerita muluk-muluk. Tidak ada kesedihan berlebih atau nyawa yang harus dikorbankan. Hanya dua tokoh utama, berjuang menggapai sesuatu nun jauh di sana.
Mulanya niat mereka saling mendukung, berbagi semangat kala asa putus. Rasa saling memi...
Bukan tanpa alasan sebelah alis Shareina berjungkit malam itu. Ucapan Yovan yang terlalu mendadak dan ambigu menerbitkan semua tanda tanya; belum lagi ditambah kalut karena hari SBMPTN makin dekat. Kesimpulannya adalah: Shareina tidak mampu mencerna.
Sepanjang jalan, gadis itu hanya bertanya kenapa, mengapa, apa maksud dari kalimat pendek Yovan. Bagaimana Yovan tahu kalau getaran ponselnya adalah akibat dari pesan teks Abin.
Tapi yang paling penting adalah: bagaimana otak si gadis mengabaikan semua wejangan orang tua untuk hati-hati terhadap semua pria, bagaimana kaki Shareina dengan ringan melangkah mengikuti sang pemuda bahkan ketika Yovan terlihat enggan menjawab pertanyannya.
"Maksudnya, aku lagi demot, makanya temenin ae, ya, sekarang."
Shareina mengernyitkan dahi kembali. Mereka benar-benar duduk di rumah makan kaki lima yang menjual pecel lele, suatu tempat di dekat Wijaya Kusuma. Yovan baru saja memesan spesialisasi mereka, sedang Shareina membiarkan pelayan pergi dengan satu gelas es teh manis.
"Kok aku, deh?"
Yovan menopang dagu. Matanya menelusuri milik Shareina yang penuh tanda tanya. Pemuda itu tidak bisa menahan senyum ketika menyadari bahwa bibir si gadis maju; tidak sabar menunggu jawaban yang baik dan benar.
"Ya, soalnya kamu tok, to, yang berantem sama orang tua. Aku juga." Yovan memainkan tisu toilet yang entah kenapa jadi kultur Indonesia yang tidak dikomplain. "Kalau anak FK ngumpul karena mereka punya same interest, why wouldn't we?"
Manggut-manggut, Shareina memainkan sedotannya. Pesanan mereka baru datang saat Yovan menyelesaikan kalimat. Gadis itu mengangguk sambil menyedot es teh manis.
Masuk akal, sih.
Atau keinginan terpendam Shareina yang mendamba teman seperjuangan saja yang membuat jawaban Yovan dapat dibenarkan?
"Emangnya kenapa? Kemarin di sosmed aku lihat kamu galau banget. Hampir kasian," kata Shareina.
Yovan mendongak. Dia tersenyum lalu menggeleng. "Papa, sih, biasa. Tapi ya udah, orang aku yo wes terlanjur daftar. Palingan stres, makanya langsung cat rambut biru."
Baru saja Shareina akan menggulirkan bola mata karena bosan, Yovan bertopang dagu. Dia berpose, lebih tepatnya.
Lagipula, orang normal mana yang menghilangkan stres dengan mengecat rambut?
"Cocok, nggak?"
Mau tidak mau, Shareina meniti fitur wajah Yovan. Bentuk bibir atas yang unik dan garis rahang tajam, ditambah dengan senyum menawan ditawarkan hanya pada Shareina seorang.
Sejujurnya, kalaupun Yovan beruban sekarang, Shareina masih tetap berpendapat bahwa dia serupawan biasa. Sikap cengengesan mungkin menutupi pesonanya, tapi Yovan memang tampan.
"Lihat tok?"
Shareina terkesiap. Kaget seperti baru pertama kali mengakui orang ganteng.
Gadis itu tersenyum simpul sembari mengangguk, "cocok, kok."
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
...
"Jadinya gimana?"
Shareina tergagap ketika Abin muncul menggantikan angka-angka matematika. Wajah bulat pemuda itu terlalu menyita perhatian untuk diabaikan. Khususnya untuk Shareina, si gadis berharap Abin sadar agar lebih sopan dan tidak tiba-tiba dalam menampakkan diri.
"Jadi, apa?"
"Jurusan, jurusan." Abin tersenyum sembari mengeluarkan buku.
Mereka di ruang belajar mandiri setelah nekat kabur dari bahasa Inggris. Dua-duanya selalu berlomba mencapai nilai pre-test tertinggi untuk pelajaran tersebut. Bukan maksud meringankan, tapi mungkin waktu dapat digunakan untuk mempelajari hal yang kurang dikuasai.
"Tetep, kok. Arsitektur. Nggak bakal aku ujug-ujug* FK, kok, Bin," jawab Shareina.
Lesung pipi Abin muncul. Dia lega ketika mengetahui Shareina sekarang lebih santai; bahkan menjadikan materi mengapa mereka bertengkar tempo hari sebagai lelucon.
"Iya, arsi mana? 'Kan arsi banyak ...."
Shareina mengangkat bahu. "ITS mungkin? UI?"
Cepat, tangan Abin menangkap milik Shareina. Mereka bertatapan sebentar sebelum keduanya sadar lantas saling melepas. Namun, itu tidak melunturkan kerlip di netra gelap Abin.
"UI aja, dong! Sama gue nanti!"
"Kenapa aku harus ke UI pake alasan biar bareng sama kamu tok?" tanya Shareina balik.
Pelan tapi pasti, sinar wajah Abin padam. Terlalu samar untuk disadari, tapi pemuda itu tertampar. Mungkin kata-kata Shareina dilontarkan tanpa pikir panjang, tapi cukup untuk memukul dia dengan kenyataan.
Bahwa ajakannya barusan terlalu ambigu; bahwa mungkin dia bersalah karena memberi Shareina beban pikiran yang tidak perlu.
"Anyway." Shareina membuka mulut lagi. Barangkali lelah dengan hawa-hawa ambigu yang selalu melingkupinya beberapa hari belakangan. "SNM pengumuman bentar lagi, gimana?"
Kali ini, giliran Abin mengangkat bahu. "Gue nggak dapet kuota, Sha."
Alis Shareina turun, bersamaan dengan bibir yang tertarik ke bawah, kehilangan ketertarikan. Gadis itu hampir meminta maaf secara verbal sebelum tangan Abin kepalang terulur dan mengacak rambut Shareina dengan canggung.
"Nggak apa-apa, kok, Sha."
Harusnya memang tidak apa-apa. Toh, Shareina tidak tahu dan baru bertanya. Spekulasi si gadis juga tidak terlalu ngawur, menimbang kapasitas otak dan prestasi Abin selama di bimbingan belajar.
Namun, kenapa dia merasa bersalah ketika mengingat pesan teks Abin yang sengaja ia abaikan untuk Yovan?
ㅡㅡㅡ
*ujug ujug: tiba-tiba
hello! i know, sorry for taking to long per updates because i am busy prepping for somethingㅠ
semoga bisa lebih sering update setelah benar-benar libur, ya. terima kasih sudah menunggu dan mengapresiasi!
bonus, ini Yovan ketika jalan-jalan malam sama Shareina. what do you think? does blue suit him? (ofc, hir, duh)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.