8: Serius

83 13 1
                                    

"Halo?"

Butuh sepuluh detik sebelum Shareina mengangkat telepon itu. Ia harus meyakinkan diri cukup kuat menghadapi perdebatan yang mungkin terjadi. Dia memang merindukan keluarga di kampung halaman, namun nama "Mama" di layar ponsel bukan sesuatu yang sekarang ia harapkan.

"Iya, try out-nya keluar. Nggak bagus, nggak jelek. Bisa, Ma. Ada kok, ada uang."

Shareina bergerak dari ruang belajar mandiri ke kantor depan. Dia takut mengganggu anak seumuran yang berjuang demi mimpi. Apalagi, selalu ada kemungkinan emosinya habis terkuras; yang pasti tidak harus disaksikan oleh orang banyak.

Gadis itu menghela napas, seirama dengan gerakannya duduk di bangku kayu. "Maunya arsitektur UI ... kata tentor masih bisa dikejar."

Bersamaan dengan memanasnya diskusi, tentor-tentor lewat bergantian. Bangku tempat Shareina berada ada di antara jalur keluar-masuk ruang tentor dan kelas, jadi dia menggunakan energi ekstra untuk tersenyum sopan pada siapa pun yang ia kenal.

"Kok ngene maneh* sih, Ma? Bukane udah deal aku arsi?"

Raut wajah Shareina sudah tidak karuan. Walau prediksinya tepat, bahwa sang ibu akan menyebutkan kedokteran serta merayunya lagi, persiapan gadis itu setara dengan nol. Bukan kata-kata tenang sesuai ekspektasi yang keluar, malah teriakan tertahan dengan bonus air mata.

"Nggak tahu. Capek. Kalau mau ngomongin ini lagi, Mama aja ke Surabaya."

Tidak, Shareina tidak memutuskan telepon sepihak. Dia membiarkan ibunya mengucapkan salam perpisahan dengan benar.

Badannya melorot tak sampai dua detik setelah sambungan terputus. Dia kira sudah tidak perlu berdebat mengenai ini lagi. Dia kira semuanya clear tanpa harus mengulik memori yang membuat dia merasa bersalah dan sakit.

"Woi."

Itu Zhe. Tempat Shareina bisa bertingkah sesuai emosi tanpa harus pura-pura tersenyum.

"Mama?" Zhe mendekat, duduk di samping sang karib.

Begitu Shareina mengangguk, Zhe mengelus punggung si gadis untuk meyakinkan bahwa semua aman; tidak akan lagi ada perang dingin seperti bulan-bulan lalu. "Tante bakal ngerti, kok. Butuh waktu. 'Kan kamu udah dipercaya mau jadi dokter sejak kamu lahir. Semuanya kecepetan aja buat Tante."

Shareina tersenyum kecil. Zhe benar. Ibunya perlu waktu.

Salah dia bahkan, karena terlampau lambat mengatakan mimpi secara eksplisit. Banyak hal terjadi sebelum keputusan bulat mengambil arsitektur; jelas bukan hal baik. Melibatkan banyak air mata, hari-hari bisu, dan teriakan, juga ruang gelap dan kamar terkunci.

Zhe tahu semuanya, karena itu dia bersikeras menyusul Shareina kemari.

"Kalian lama bangetㅡoh?"

Kalimat Abin terputus ketika melihat posisi Zhe yang sedang merangkul Shareina. Bukan pemikiran ambigu, kok, hanya dia tahu salah satu dari mereka sedang tidak dalam kondisi baik. Pandangan pemuda itu terlempar ke arah acak sebelum menggumamkan maaf.

"Bin," panggil Shareina. Pelan, tapi cukup membuat serangan maafnya berhenti. Pemuda itu mendekat setelah Shareina menepuk sisi kosong di sebelah, dan Zhe beringsut pergi dalam perlindungan alasan mau belajar kimia.

"Mau tahu kenapa aku nggak daftar kedokteran?"

...

"Bento ye awakmu*?"

Lebih kurang, ekspektasi Shareina dipenuhi oleh Zhe. Sebagai jawaban, dia mengangkat bahu sembari menyerahkan flashdisk yang berisi satu data: kartu pendaftaran SNMPTN.

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang