5: Hantaman Realita

87 16 3
                                    

"Gimana?"

Pertanyaan simpel itu sudah berkali-kali didengar oleh Shareina hari ini. Baik untuknya, maupun buat orang lain. Satu kata: tapi jawabannya mampu melahirkan berbagai ekspresi. Senyum, sedih, tertawa masa bodoh, sampai melirik panik tidak tahu mau memasang mimik seperti apa.

Pengumuman nilai try out pertama sudah dipajang di lantai satu. Sampai sekarang, lorong sempit itu masih dipenuhi siswa penasaran. Shareina beruntung karena berpapasan dengan tentor yang kebetulan akan memasang nilai, jadi tidak perlu berdesakan.

Omong-omong, Shareina termasuk kategori terakhir. Gadis itu cuma tersenyum sambil menghindari tatapan sang penanya. Kalau terlampau kepo, dia akan mengibaskan tangan sambil bilang, 'cari sendiri ya' dengan intonasi seramah mungkin.

Bukan apa-apa, Shareina tidak enak bila harus menyampaikan kekecewaannya. Peringkat dan nilainya lumayan, tapi tidak cukup bahkan untuk mencapai pilihan kedua. Mau terang-terangan nanti dibilang sombong, mau pura-pura senang, dia tidak jago membohongi diri.

Saat ini, dia cuma mau pulang dan merenung sendiri di kamar kos. Namun, itu juga susah.

Di pojok ruangan, Zhe menunduk. Sepertinya menangisㅡbahunya bergetar. Shareina tidak mau menegur, tahu macam apa Zhe jika emosinya tidak stabil. Tapi untuk meninggalkan sahabatnya sendiri, gadis itu juga tidak sampai hati.

"ZheㅡTuhan." Jeno masuk ke kelas, langsung menuju ke arah gadis yang sesenggukannya makin keras. Dia kemudian menoleh ke Shareina, "daritadi gini?"

Shareina mengangguk. Bingung karena dia sendiri punya banyak perasaan beradu jadi satu. "Bingung mau diapain ...."

Iya, Zhevanya Marlin punya alasan jelas untuk kejatuhan mental. Nilai gadis itu tak cukup baik untuk menggapai peringkat terakhir. Dan entah kenapa, barangkali karena kebiasaan, Zhe selalu mencari nama Shareina setelah memeriksa miliknya.

Oleh karena itu, daritadi Shareina hanya bisa menghibur Zhe lewat telepati.

"Ya udah, kamu pulango wis. Zhe tak tunggu." Jeno menoleh ke arah Shareina dengan wajah iba. Pemuda itu juga bilang bahwa mungkin Zhe perlu seseorang dengan target sama untuk mendengarkannya: dan Shareina jelas bukan salah satunya.

Setuju, Shareina lekas mengemasi barangnya. Gadis itu hampir meninggalkan pintu ketika dia tahu ada yang mendongak.

"Kita ... temen, kan?"

Itu Zhe. Shareina hanya mengangguk, tidak berani menoleh.

"Kamu bisa ga lebih bersyukur dan ngehargain temen kamu?"

That's it. Shareina benar untuk tidak mengusik Zhe. Semua kesedihan sang karib ternyata disebabkan olehnya. Zhe pasti tidak sengaja mendengar gumaman (keluhan) Shareina akan hasil try out ini.

Satu kata maaf yang pelan, tapi tulus dan bergetar keluar dari mulut gadis itu. Shareina tidak berani menengok; terlampau takut untuk menghadapi mata sembab Zhe, atau hidung dan bibirnya yang bengkak dan memerah.

Aku capek juga.

Shareina melangkah lebar-lebar. Dia merasa bersalah mengabaikan ajakan Abin pulang bersama. Sampai sekarang, Abin mengekor di belakang dan kebingungan sang pemuda menular ke Shareina.

"Apa?" tanya Shareina.

"Oh!" Abin gelagapan. Nada Shareina barusan agak membentak, membuatnya panik. "Ahㅡenggak. Selamat, ciye, ranking lima sekelas."

"Percuma, masuk pilihan kedua aja enggak." Shareina blak-blakan. Perasaan kecewanya terlalu bikin sesak untuk ditahan lama-lama. Sekarang gadis itu hanya bisa berharap Abin punya dada cukup lapang untuk memakluminya.

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang