9: Sebelum Semuanya

90 15 3
                                    

Hari ini, Zhe datang dengan keadaan tidak biasa.

Gadis itu memakai jaket tebal dan kupluk saat memasuki kelas. Panas Surabaya jadi berasa sejuk Kawah Bromo ketika Zhe masuk. Belum lagi, ketika resleting jaket diturunkan dan bibirnya terlihat, hanya ada bercakan lip tint merah yang seolah dipaksa menutupi kepucatan wajah.

Shareina berdiri, mendekati si karib sembari mencari eksistensi Jeno. Semenjak Zhe memutuskan pindah kos dengan Jeno, sudah kebiasaan bagi Shareina, Abin, dan Yovan untuk melihat mereka berdua berangkat dan pulang bersama.

"Kenapa? Ndredeg a pengumuman?*"

"Panas ae. Pusing. Biasa." Zhe mengeluarkan masker dan memasang benda hijau itu hingga menutup separuh wajah. Dia menghela napas sejenak sebelum kembali menghadapi tatapan tajam Shareina. "Aku udah legawa*, kok. Santai, santai."

Shareina berdecak. Dia menggenggam tangan Zhe yang terasa seperti api unggun dibanding miliknya. "Santai ndasmu."

Tepat setelah itu, bel berbunyi. Shareina berdiri, berat hati beranjak menuju kursi depan tempat dia sudah memesan tempat bersama Yovan. Zhe memutuskan duduk di belakang untuk menghindari angin AC.

Ketika pintu terbuka, yang ada di sana bukan Kak Bima, tentor biologi, tapi Jeno. Dia agak terengah, tangan kanannya menenteng dua plastik warna putih sekaligus.

"Zhe maㅡoh!" Jeno bergegas menghampiri Zhe ketika scanning kilatnya menemukan gadis yang berpakaian seperti akan pergi ke ice world.

Yovan menyenggol bahu Shareina perlahan. Tanpa menoleh, dia menunjuk pergerakan Jeno dengan dagu. "Pacaran, ta?"

Mengangkat bahu sekilas, Shareina tidak menanggapi pertanyaan Yovan lebih lanjut. Bukan karena malas, tapi karena tidak mau menyampaikan pernyataan berdasar asumsi. Salah-salah, nanti bukan dia yang dirugikan, tapi temannya.

Dari ekor mata Shareina, dia melihat Jeno sedang menempelkan susu kaleng hangat ke tangan Zhe. Isi plastik di atas meja sang karib terlihat sedikit; dan meskipun Shareina rabun parah, dia tahu itu obat.

Walau Shareina tidak tahu apakah pertanyaan Yovan dapat dijawab dengan ya dan tidak, tapi dia mengerti betul kalau Zhe, gadisnya, sudah jatuh hati pada Jeno.

...

Dingin.

Bolak-balik Shareina meyakinkan diri bahwa ini hanya efek sementara yang ia terima setelah berjam-jam terkurung dalam ruang kelas ber-AC enam belas derajat selsius. Namun, ketika dia keluar pun, dingin masih terasa.

Tidak lucu kalau dia sakit setelah bertindak sebagai ibu sok galak; menyuruh Jeno mengantar Zhe istirahat ke kos selepas jam pertama. Gadis itu sedang menunggu Abin membeli es kopi sebelum kembali bersama, dan tengah memeluk diri sendiri.

"Weh! Pengumuman yo, hari ini?" Yovan datang dan seenaknya mengisi ruang kosong di samping Shareina. "Piye*? Mau dijokiin lihatnya?"

Shareina menggeleng sambil tersenyum. Kalau melihat kilas balik kemarin, sudah tidak mungkin dia lolos SNMPTN. "Nggak usah, nanti kamu kaget, Van."

"Kaget kenapaㅡloh?"

Niat hati ingin modus, batin Yovan. Itu yang di pikirannya saat menggeser pantat, mendekati Shareina dengan maksud menjahili gadis itu. Tapi, ketika tangan mereka bersentuhan, Yovan mengernyit.

"Kamu ketularan Zhe, toh?"

"Ketularan apa?" Giliran Shareina yang kebingungan. Dia memang merasa sedikit dingin, tapi bukan berarti dia ... demam, 'kan?

"Panas, lho." Tangan Yovan bergerak, hampir menyentuh dahi si gadis. Tapi, Shareina terburu-buru mundur; hampir menepis gerakan Yovan, untung berhenti di udara karena si pemuda tahu diri.

Sebagai ganti, Yovan melepas jaketnya. Hendak menyampirkan potongan kain biru muda itu ke pundak Shareina, yang dibalas dengan gumaman terima kasih kecil.

"Loh, kenapa?"

Abin datang, kebingungan. Tatapan matanya penuh tanda tanya. Namun, ada secercah kekhawatiran tulus yang bisa Yovan rasakan sebagai sesama kaum Adam.

Secara naluri, Abin berlutut di depan Shareina untuk menyamakan tinggi mereka berdua. Abin terlampau jangkung untuk anak seumuran, kadang pemuda itu tidak sengaja membentur plafon kelas. Diberikannya gelas kopi hangat yang memang sengaja dia beli sebagai upeti Shareinya yang telah menunggu selagi berusaha mencari mata gadis itu.

"Panas, panas." Yovan berkata setelah beberapa gumaman Abin tidak menghasilkan jawaban memuaskan. Pemuda itu mengibaskan surai birunya sembari berdiri, bersiap pulang.

Soal ucapannya barusan, bisa berarti dua makna. Temperatur tubuh Shareina, tentu saja, atau udara di sekitar mereka yang berubah pengap untuk Yovan.

"Nggak bakal ada yang kuat belajar waktu pengumuman SNMPTN, toh? Balik dulu, ya. Aku siap bawa kompres nek besok kalian dateng terus matanya bengkak."

Abin mengangguk, mengucapkan salam dan hati-hati mewakili Shareina yang masih tertegun akan ketidakmampuan tubuh untuk tetap sehat. Sedang Yovan tersenyum, menepuk pundak Abin sesaat sebelum melengang meninggalkan lobi bimbingan belajarㅡTuhan yang tahu ke mana dia akan pergi.

"Sha," kata Abin setelah punggung Yovan menghilang. Dibenahinya jaket Yovan agar membungkus tubuh Shareina lebih erat, tangannya ditawarkan untuk membantu gadis itu pulang. "Bisa jalan?"

...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

...

ㅡㅡㅡ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅡㅡㅡ

*ndredeg a pengumuman?: deg-deg an ya, pengumuman?
*legawa: pasrah
*piye: bagaimana

hai!
*melambaikan tangan keras-keras*

aku di sini, masih struggling sama buku ini, kok! i'll try to update more often huhu.

hope you enjoyed it as well♡

Of Dreams and Forgotten FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang