/1/
Aku tak percaya pada manusia
Mereka ibarat sehimpun gerai di kota-kota
yang mati sepi tak berpenghuni
Mencari-cari luput di telapak kaki sendiriAku tak percaya pada makhluk bernama manusia
Bau-bau dusta membaur di mana-mana
Mengepung selaksa aroma agar turut sembunyi
Meski dalam keapatisan hukum yang tak pastiAku membenci makhluk dengan sebutan manusia
Mereka mengumbar akad-akad palsu
Tiada peduli kendati api membumi
Huh, bawaannya bedil tapi ciut pada kata adil¹/2/
Riuh-rendah gemuruh orkestra mulut petruk
menjadi ratu yang tak becus, sebab aku tak diperbolehkan masuk masjid
lagi, hanya lantaran warna kulitku yang putih
serupa pemilik kafetaria di ujung sana, cakapnya takliddi sela-sela tangis doa aku bertanya,
"Mengapa aku senantiasa bersalah dengan warna kulitku, ya Tuhanku?"Bungkam aku dalam tidak mengerti
Di sini, minoritas runyam terlanjur mati
Ya, mau bagaimana lagi?
Komando dari atas, toh, musti disembah-hormati/3/
Di persimpangan jalan, aku mampir ke kamar mandi
Berdiri menatap cermin memantulkan pesona mayat hidup-hidup
Adalah wajahku yang tersiksa pucat pasi
Kautahu, kuingin tetap cantik bahkan dalam mati²Mungkin kini manusia telah berubah menjelma
macan-macan buas yang memakan sobatnya sejoli
Di riuh dan senyap kota metropolitan aku termenung
: Perihal kapan bangsa ini berdikari,
tanpa mempersoalkan warna kulit kaumnya sendiri. []Catatan kaki :
¹ Kutipan dari sajak "Wiji: Yang Lantang dan Yang Hilang" karya Fandy Ahmad Salim.
² Kutipan dari sajak "Permaisuri" karya Subagio Sastrowardoyo.−dalam dekapan doa,
7 November 2019
11.28 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
huru-hara: yang tidak ada
PoesíaPUISI | ❝ mulut-mulut sibuk menjelma burung ciat-ciut berakhir tarung pojok sini pendapat begini pojok situ pendapat begitu keberadaan hukum diperdebatkan nyerocos saja katanya ada peraturan toh, undang-undang di mana-mana ketika genting, ia...