/1/
Seseorang merebus spageti hingga matang
berkarib aroma bolognese, meraup sejurus pandang
umpama moccachino coffe dengan sejumput latte
secuil brownies dan pancake kudapan umat elite
Kubaca segenap rangkaian senarai menu-menu
terpahat di dinding beserta nominal yang
tak tentu jua melimpah digitnya, dan berbisik :
"Aduh, harus kubayar dengan tunai macam apakah?"
/2/
Ada hening bergemuruh dengan riuh dan sorai
senantiasa bercakap-cakap seraya menanyakan
adakah rindu yang membaur dan menganga
selepas tercuat cicit-cicit ingatan lusa masa entah
Ada impresi yang tinggal dalam
asap-asap bekas sundutan korek api
pada penjaja sate, harum kuah kacang autentik
dan secangkir kepulan panas teh jahe
Gerobak burjo setengah karat yang
roda depannya hampir usang, stiker tertulis
bakpao anget kebul-kebul yang mengelupas dari kaca
lamun rasa tak jua kian beralih asing
/3/
Mereka cakap teritorial kami arkais,
terbelakang, pun tertinggal kian tanggal
kendati pun desa kami udik dan primitif
aku tetap berpegang teguh demi berdiri mengabdi
Terselip memori pada santapan
lemak-lemak yang mengumpul,
dan sebutir beras yang diliwet masak-masak
minyak dan bumbu daerah yang terlampau unik
Aku tertegun lama menatap sebuah burger
seluruh tetek-bengek shake dan kudapan
telah tertata rapi di meja saji
hingga pundakku merasa tertepuk pelan,
"Hai, apakah kaurindukan kampung halaman?"
Begitu legitnya lamun akan griya
terhunjam di helai-helai amigdalaku
seluruh persepsi hengkang menembus karam
pada penjuru kisah, kupilih mengangguk pelan.
—Bantul, 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
huru-hara: yang tidak ada
PoezjaPUISI | ❝ mulut-mulut sibuk menjelma burung ciat-ciut berakhir tarung pojok sini pendapat begini pojok situ pendapat begitu keberadaan hukum diperdebatkan nyerocos saja katanya ada peraturan toh, undang-undang di mana-mana ketika genting, ia...