Lumayan lama, ya, nggak update. Ada yang kengen nggak?
Jangan lupa vote dan komennya. Terima kasih❤️
Selamat membaca, Buciners!
***
"Li, yang ini perlu juga nggak, sih nyari referensinya di google?"
Aku mengangguk. "Kalo menurutku lebih baik keduanya, buku dan google. Jangan lupa simpan linknya ya, Vi, biar bisa ditaruh di daftar pustaka makalahnya."
"Oke, sip." Via mengacungkan jari jempolnya. "Terima kasih, Lili. Eh, ngomong-ngomong nanti kita ke kantin barengan, ya?"
"Aku bawa bekal sendiri. Maaf, Via."
"Yah ..." Via menampilkan ekpresi kecewanya, tetapi itu tak berlangsung lama. "Ya udah, deh, aku duluan, ya. Dah, Lili ..."
Mengangguk sekenanya pada Via, aku kembali fokus pada laptop di depanku. Setelah dua puluh menitan berkutat dengan tugas, aku menyimpan file tersebut kemudian mematikan laptop. Aku mengeluarkan bekal dari dalam tas dan mulai menikmatinya.
Di ruangan ini hanya tinggal aku dan seorang cowok berkacamata yang duduk di pojokan. Dia juga terlihat sibuk dengan laptopnya, sesekali mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya yang kentara sekali terlihat kesulitan sesuatu.
Di suapan terakhir nasi goreng, aku mendengar seseorang berdehem. Menoleh ke samping kanan, dan ternyata pelakunya adalah cowok itu.
"Anu ... boleh nanya?" Dia mengusap tengkuknya dan tersenyum canggung. "Gue denger lo tadi diskusi tugas sama Via."
Setelah menegak air minum dan membersihkan mulut dengan tisu, aku duduk menyerong lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Kira-kira kalo semua bahan diambil dari google, apa nggak masalah?"
"Lo nggak denger yang dibilang Pak Zaky minggu lalu? Omongan gue sama Via tadi juga nggak dengar?" Aku menaikkan sebelah alis, seolah mengejek dia. "Yang lebih diutamakan harus ambil bahan dari buku, karena dapat dipertanggungjawabkan. Di google hanya sebagai tambahan aja."
"Yah ... gimana kalo ternyata bukunya nggak ada? Judul yang dikasih ke gue lumayan sulit," katanya mendesah lelah.
"Ya nggak mungkin dosen ngasih tugas tanpa ada buku sebagai sumbernya."
Wajahnya tambah lesu. "Ya udah, terima kasih." Dia berbalik, kedua bahunya merosot ke bawah tidak bersemangat.
Aku menimbang-nimbang sejenak. Tak ada salahnya kalau membantu. "Hei!" Walaupun kami satu kelas, tetapi aku tak tahu namanya. "Mau kubantu?"
Dia menoleh, matanya langsung berbinar. "Lo nggak keberatan, kan?"
"Nggak. Kebetulan juga gue tau di mana toko buku terlengkap."
"Harus beli bukunya juga?" tanyanya terkejut.
"Itu lebih baik, bukan?"
"Iya, deh." Dia mengangguk pasrah. "Eh, ngomong-ngomong lo tau nama gue, kan?"
Aku menggeleng cepat.
Dia terkekeh. "Benar-benar cuek dengan sekitar, ya? Padahal ini udah dua bulan lebih, lho."
Aku mengendikkan bahu acuh, tidak peduli lebih tepatnya
"Kenalin." Dia mengulurkan tangan. "Gue Reno. Reno Afriyan."
"Lilianna," balasku tanpa menyambutnya.
"Gue udah tau." Reno nyengir. "Sekali lagi terima kasih, Li."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Ganteng Itu Suamiku (Completed)
ChickLit[Warning! Mengandung banyak kebucinan] Tetangga dan teman sekelas kompak mengataiku gadis jutek. Mereka juga bilang aku nggak pedulian terhadap lingkungan sekitar. Tentu saja aku masa bodoh dengan omongan mereka, tetapi rupanya sikap tersebut justru...