Membatalkan lamaran masih tetap jadi keinginanku. Sayangnya, aku belum memiliki alasan kuat untuk melakukan itu. Aku juga tak akan bersimpati atau pun berbaik hati menerima Mas Rendra setelah mendengar ceritanya yang dramatis. Malah aku semakin kuat menolak kemunculannya yang begitu tiba-tiba dalam hidupku.
Aku yang kecil dulu, jauh berbeda dengan yang sekarang. Walaupun pernah menganggap seorang Mas Rendra spesial di masa kecil, itu tak menjadikannya serupa saat kami bertemu di masa sekarang.
Setelah mengantarku ke kampus untuk regitrasi waktu itu, kini Mas Rendra makin gencar datang ke rumah dan mengirim macam-macam pesan yang menurutku tak begitu penting. Misalnya jangan lupa makan, Anna. Memang terkesan perhatian, tetapi bagiku agak menggelikan. Lagipula orang mana yang lupa sama makan? Ada-ada saja!
Tiga hari OSPEK sudah kulewati dengan lancar. Meski sedikit sulit karena tak memiliki kenalan atau teman, tetapi bersyukur aku bisa mengatasinya. Dan tibalah bagian puncak dari OSPEK, yaitu malam keakraban atau disingkat MAKRAB. Tepatnya acara makrab dilaksanakan pada akhir pekan ini.
Sekarang aku sedang sibuk mengepak barang-barang ke dalam tas. Tak banyak yang kubawa, hanya menurutku yang penting-penting saja. Mama duduk di sisi ranjang, menjadi penonton sejak tadi sembari menatapku lekat-lekat.
"Li, udah dapat teman baru di kampus?" Mama memulai pembicaraan.
"Belum," jawabku singkat, tanpa mengalihkan perhatian.
"Masa belum dapat? Susah, lho sendirian di tempat asing. Apalagi MAKRAB-nya menginap."
"Nanti dicari."
Mama menghela napas pelan. "Turunan siapa, sih kamu, Li? Papa, Mama, sama abang nggak jutek begini."
Aku mendongak menatap Mama datar. "Mungkin aku anak pungut."
"Memangnya bisa anak pungut mirip banget sama Mama?" Kini Mama bangkit sambil berdecak. "Udahlah kita langsung ke bawah aja. Mama udah siapin makanan sama camilan buat kamu." Lalu tak lama setelah itu, punggung Mama menghilang di balik pintu.
***
Tepatnya di depan kampus, tujuh buah bus berjejer dengan rapi. Sebagian sudah diisi oleh para mahasiswa masing-masing jurusan. Di dekatku berdiri, ada segerombolan mahasiswa yang jurusannya sama denganku. Kami semua belum masuk ke dalam bus dikarenakan belum mendapat intruksi.
Mas Rendra yang menjadi sopir sekaligus mengantar kepergianku, berdiri tepat di samping kiri sembari memandang sekitar dengan tatapan yang menelisik. Sorotnya terkesan tajam, tetapi saat berhadapan denganku seketika itu juga langsung berubah jadi melembut.
"Anna sudah terbiasa bepergian seperti ini?" tanya Mas Rendra, memulai obrolan setelah lama kudiamkan.
"Hm."
"Ke mana? Sendirian atau sama teman-teman?"
"Sendirian," jawabku singkat. Tak lama setelahnya terdengar intruksi dari para kating jurusan kami, memerintahkan untuk segera memasuki bus nomor lima.
Aku yang enggan berdesak-desakan memilih untuk bersantai di antrian paling terakhir. Sebelum memasuki barisan, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Mas Rendra. Dia membawa pergi ke samping mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri tadi.
"Anna, boleh Mas minta kamu balas pesan Mas?"
Kupikir tak ada salanya dengan permohonan Mas Rendra. Jadi, kujawab dengan sekali anggukan.
Rautnya langsung berubah jadi cerah. "Kalau ditelepon harus diangkat juga, ya?"
Sontak aku mendengkus. Ini laki-laki bangkotan malah ngelunjak. Tapi kasihan juga kalau tak dituruti. "Hmm."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Ganteng Itu Suamiku (Completed)
ChickLit[Warning! Mengandung banyak kebucinan] Tetangga dan teman sekelas kompak mengataiku gadis jutek. Mereka juga bilang aku nggak pedulian terhadap lingkungan sekitar. Tentu saja aku masa bodoh dengan omongan mereka, tetapi rupanya sikap tersebut justru...