Bab 4

4.8K 212 6
                                    

“Happy anniversary, sayang.” Mas memelukku dari belakang saat sedang menyiapkan sarapan untuknya.

“Love you” sambil mencium pipiku.

Aku membalikkan badan dan memeluknya dari depan.

“Semoga kita selalu bahagia. Love you too” aku setengah berbisik dan mencium pipinya.

Aku mengawali pagi dengan indah hari ini. Sepuluh tahun sudah aku mengarungi pernikahan dengan Mas Andra. Perjalanan yang tidak hanya ada manis dan pahit didalamnya tetapi juga ada asin dan hambar. Nano-nano. Persis iklan permen. Usia pernikahan yang bagi sebagian orang cukup lama tapi bagi sebagian lainnya masih terbilang baru. Baru sepuluh tahun.

Sepertinya kemarin malam semua bebanku hilang. Kemarahan dan kekesalanku luluh tak bersisa terhadap suamiku. Andai saja aku membicarakan ini lebih cepat. Mungkin lebih cepat juga semua terselesaikan.

WA dari Lintang memecah lamunanku. Aku jarang bertemu dengannya tetapi intensitas mengobrol via WA kami seperti orang yang tinggal satu rumah.

“Congratulation, Di. Jangan ribut-ribut. Adem ayem aja, ya. Stop war.” Pesannya.

“Hahaha...geblek” aku membalas pesannya.

“Makan-makan kita? Mana?Kapan?” Lintang seakan tidak memberi jeda.

“Maunya di mana? Bukannya situ yang susah waktunya secara ada dua krucil yang ngintilin” aku membalas sambil terkekeh.

“Iya nih. Weekend aja ya. Nunggu libur bapake. Udahan dulu ya, bapake udah pulang” 

“Hmm..ok.”

Begitulah kami yang selalu curi-curi waktu untuk ber WA ria dan akan terhenti ketika para suami sudah pulang kerja.

Malam ini mas pulang terlambat karena ada rapat. Ia sudah mengatakannya kemarin. Aku juga sudah menerima pesan darinya malam ini, bahwa tidak perlu menunggunya karena sepertinya akan lebih lama dari biasanya. Karena Bos besarnya yang memimpin rapat, sehingga butuh waktu evaluasi lebih lama. Biasanya kalau rapat, jam sebelas malam mas sudah sampai di rumah. Berarti kali ini akan pulang larut.

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur, sambil memainkan handphoneku dengan harapan bisa membuatku lebih cepat tertidur. Tapi sepertinya salah, aku tidak mengantuk sama sekali. Aku membuka galeri foto di handphoneku dan melihat foto-fotoku. Aku menatap lekat sebuah foto yang membuatku menarik napas begitu dalam. Itulah dimana masalah itu di mulai.

Tiga bulan lalu seorang kerabat mas yang bernama Pakde Guntur mengundang kami untuk menghadiri acara resepsi pernikahan putrinya. Kami tidak membuat janji untuk datang bersama dengan keluarga lainnya. Tetapi sepertinya takdir memang selalu membuat kami bersama-sama. Turut hadir di resepsi itu tante Mira, tante Ida, om Adnan dan beberapa saudara jauh mas yang hanya aku kenal wajahnya tapi aku lupa namanya.

Pernikahan dengan tema shabby chic itu begitu memanjakan mataku. Dengan meletakkan begitu banyak bunga berwarna pastel pink dan biru pucat, semakin membuat resepsi tersebut semakin romantis dan feminin. Pakde Guntur sudah mempersiapkan meja untuk kami. Sebuah meja bulat dengan kursi yang diikat dengan pita berwarna pastel dan di susun mengelilingi meja. Dan buga-bunga indah yang aku katakan tadi berada di atas meja tersebut. Kami menikmati hidangan yang nikmat siang itu.

Pakde Guntur mengunjungi meja kami dan menyapa kami dengan ramah dan hangat layaknya sebuah keluarga. Pakde menyalami dan bersenda gurau bersama kami. Pakde Guntur juga mengingatku.

“Ini istri Andra, kan?” ia menyapaku sambil tersenyum.

“Iya Pakde, saya Diandra”

“Sudah berapa anggota, Ndra?” Pakde melanjutkan.

“Belum ada Pakde. Kami masih di beri kesempatan berdua dulu.” Mas menjawab dengan sopan.

“Oh, semoga segera di beri momongan, ya, Nak” beliau mendoakan kami.

“Aamiin” semua mengaminkan perkataan pakde Guntur.

Hangatnya perlakuan pakde Guntur menyambut kami memberikan kesan yang sangat baik untukku. Istrinya sudah meninggal setahun yang lalu. Dan yang menikah hari ini adalah anak tunggalnya, Ratna.

“Andra, nggak mau nikah lagi? Entar resepsinya kita buat seperti ini. Kali aja dengan yang baru segera diberi momongan” tanpa tedeng aling-aling tante Mira bersuara. Tiba-tiba aku memfokuskan telingaku, takutnya yang aku dengar ini salah.

"Apa nggak ada yang lain yang bisa dibahas, Tante" suara mas terdengar datar.

“Maksud Tante, kalau Diandra nggak bisa, mungkin aja dengan yang baru bisa.” Tante Mira melanjutkan perkataannya sambil tersenyum melihatku. Raut wajah mas berubah menandakan ia nggak nyaman dengan tingkah tantenya. Bahkan aku yang duduk di sebelah tante Ida mendengar apa yang coba tante Mira bisikkan kepada tante Ida, “Jangan-jangan Diandra…"

Tante Mira pasti tidak menyangka kalau musik tiba-tiba berhenti tepat saat ia berbisik. Dia terkejut karena suara yang dia harapkan tidak terdengar oleh orang lain ternyata menjadi begitu jelasnya sehingga dia tidak melanjutkan perkataannya lagi.

Aku nyaris kehilangan akal sehatku. Ingin sekali rasanya aku pergi meninggalkan gedung resepsi itu, tapi aku masih menahannya karena suamiku. Mataku mulai memanas, tapi aku mencoba menahan agar air mataku tidak mengalir. Aku tidak ingin menangis dihadapan tante Mira. Dia tidak pernah merasa menyesal, jadi dia pasti akan senang jika aku menangis. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Dalam perjalanan pulang tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Mataku hanya memandang lurus ke depan, mulutku terdiam, tapi air mataku tidak bisa aku kendalikan. Dia mencari kesempatan untuk bisa muncul di sudut mataku, dengan sigap aku menyekanya agar tidak sempat bertemu pipiku.

Pikiranku mulai berkelana, tega sekali tante Mira melakukan hal seperti itu kepadaku. Ada luka yang tak terlihat tetapi entah mengapa rasanya sangat sakit didadaku. Mungkin tante Mira tidak tahu bahwa tidak ada perempuan yang menginginkan posisiku. Sebagai perempuan aku yakin sekali dengan itu. Bertahun aku dan suamiku menantikan anak dalam pengharapan. Setiap hari kami selalu berharap ada kabar baik.

Tante Mira tidak pernah tahu bahwa ada hari dimana nyaris setiap malam aku menangis dalam pelukan suamiku. Juga masa dimana suamiku ikut menangis bersamaku. Tante Mira juga tidak pernah tahu bahwa terkadang aku merasa malas bertemu dengan keluarga dan teman-temanku.

Dan mengapa aku kecewa dengan suamiku padahal tantenya yang bersikap seperti itu. Karena aku memintanya untuk bersikap tegas kepada tantenya sekali saja, agar tantenya tidak selalu mempermasalahkan keadaan kami. Tetapi mas menolaknya. Dia meminta aku yang memahami tantenya yang memang memiliki sifat seperti itu. Yang selalu bicara sesuka hati tanpa memikirkan perasaan orang lain. Lagi-lagi aku yang harus mengerti. Alhasil aku marah terhadap suamiku dan aku puasa bicara selama tiga hari. Walaupun kemarahanku mereda tapi aku tetap saja kesal. Sejak hari itu sampai kemarin aku bicara seperlunya saja kepada suamiku.

Sekalipun anak itu penting, tetapi pernikahan bukan hanya tentang itu saja, tante.

Dia...NdraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang