Bab 3

5.3K 235 3
                                    

    Aku sedang mengobrol dengan sahabatku, Lintang, via WA, saat suamiku meneleponku.

“Sayang, nanti malam kita makan di luar, ya” terdengar suara dari seberang.

“Ada acara apa?”

“Nggak ada acara apa-apa. Lagi pingin aja” katanya.

Aku bingung karena Mas sangat jarang seperti ini sebelumnya. Bukannya nggak pernah, hanya saja jika ingin makan makanan luar dia lebih suka membeli dan memakannya di rumah.

“Nanti Mas WA tempatnya.”

“Oh, ok” aku menutup telepon. Aku mengingat-ingat bahwa aku tidak sedang berulang tahun. Apa Mas sedang ingin makan di luar? Apapun alasannya sepertinya bagus juga kami memiliki kesempatan seperti ini. Lima menit kemudian masuk Pesan WA dari Mas "Resto Nusantara, jam 6. Mas sudah pesan meja, sayang."

Aku memesan taksi online untuk datang ke Resto Nusantara. Suamiku memang suka tempat makan yang punya menu makanan Indonesia, dia tidak terlalu suka resto cepat saji atau makanan ala-ala Western. Nggak pas di lidah katanya. Tumben jalanan nggak macet hari ini sehingga aku bisa sampai di lokasi lebih cepat dari yang aku perkirakan.

Mas juga sudah pesan tempat. Sedikit aneh bagiku, karena dia bukan tipe yang mau ngurusin hal-hal seperti ini. Bicara dengan orang lain saja kalau bisa diwakilkan, dia akan mewakilkannya. Aku mengatakan kalau suamiku sudah memesan tempat, kemudian aku menyebutkan nama suamiku kepada pelayannya. Dan dia membawaku ke sebuah meja.

Meja bulat yang tidak terlalu besar dengan dua buah kursi yang saling berhadapan. Sembari menunggu Mas, aku melihat sekelilingku. Belum begitu ramai. Mungkin karena belum jam makan malam. Aku beranjak ke mushalla resto karena sudah masuk waktu Magrib. Untuk menuju mushalla dari mejaku, aku harus melewati sebuah taman dengan kolam di tengah-tengah, dan di atasnya terpasang lampu pijar berwarna kuning yang bola lampunya menjuntai kebawah. Aku melihatnya seperti jemuran, bola lampu itu dipasang di kabel panjang dan diikatkan dari satu pohon ke pohon yang lainnya yang ada di taman itu. Mungkin sedang musim lampu-lampu begini. Karena aku banyak menemui yang seperti ini.

 Selesai shalat sambil berjalan kembali ke mejaku, aku mengabadikan foto taman dan mengirimnya ke Lintang. "Dinner romantis kayaknya, nih" aku menambahkan emoji smile. Sahabatku itu juga sudah seperti diary berjalan untukku. Kami berkenalan saat SMA, dan sampai saat ini kami masih dekat bahkan semakin dekat. Aku menceritakan banyak hal padanya, begitu juga sebaliknya. Pernah suatu malam dia menelepon untuk menumpang tidur dirumahku karena sedang bertengkar dengan Ibu mertuanya dan meninggalkan anaknya dirumah bersama suaminya. Dan bisa dipastikan bahwa kami tidak tidur sampai pagi karena sesi curhat dimulai.

Aku melihat mas sudah ada di meja. “Maaf telat” sambil tersenyum mas membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Kemudian mas memesan makanan dan setiap dia bertanya aku hanya mengangguk tanda setuju dengan apapun yang dia pesan. Karena aku juga sedang tidak ingin makan  sesuatu yang spesial.

“Ada acara apa Mas?” Aku bertanya kepadanya.

“Nggak ada acara apa-apa. Lagi pingin aja” sembari meletakkan ponsel yang sedari tadi dipegangnya. “Besokkan anniversary pernikahan kita” lanjutnya.

“Hah, Besok!” Aku lupa kalau besok ulang tahun pernikahanku. Pernikahanku memasuki usia 10 tahun. Bagi sebagian orang mungkin masih baru, tapi bagi sebagian lainnya mungkin sudah lama. “Tapi kenapa makannya malam ini?” Aku masih penasaran.

“Karena besok Mas ada rapat. Jadi Mas ingin makannya malam ini aja.” 

Aku kembali memikirkan, apa hanya aku yang merasa bahwa rumah tangga ini sedikit bermasalah? Kok, sepertinya suamiku baik-baik saja. Apa dia tidak merasa bahwa ada sesuatu yang salah antara kami?.

Makanan yang kami pesan satu per satu terhidang di meja. Kami pun mulai fokus pada makanan tanpa bicara satu sama lain. Huh, aku benar-benar canggung. Menatapnya saja membuatku takut.

“Sayang, kamu punya harapan apa untuk pernikahan kita?” Mas mencoba memecah keheningan.

"Hahh" aku sedikit terkejut karena itu begitu tiba-tiba. "Apa ya?" Aku terdiam agak lama sebelum akhirnya, “Aku ingin kita jujur Mas” aku meminum air putihku sebagai tanda bahwa aku sudah menyelesaikan makan malamku. “Aku bingung sebenarnya ada apa dengan kita? Kita sudah jarang bicara layaknya suami dan istri. Bahkan aku lupa kapan terakhir kita "making seks" dan bercanda satu sama lain. Selama ini kita berusaha menjalankan kewajiban kita masing-masing. Tapi komunikasi antara kita ini tidak baik. Ini tidak sehat, Mas" padahal saat jauh aku merindukannya. "Aku takut Mas, jangan-jangan kita sudah tidak memiliki perasaan satu sama lain. Tetapi kita sama-sama tidak menyadari itu” lanjutku. Tapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku seperti sedang menumpahkan semua yang selama ini aku pikirkan. Entah mengapa aku merasa ini waktu yang tepat.

Mas hanya terdiam mendengarkanku. Sepertinya dia memberiku kesempatan. Walaupun begitu, aku tidak membuat suasana menjadi emosional. Aku tetap menjaga suhu bicaraku agar kami berdua merasa nyaman. “Aku nggak tahu apakah hanya aku yang merasa ada sesuatu yang salah antara kita, sedangkan Mas nggak merasakannya sama sekali” aku melanjutkan curhatanku.

    “Mas juga merasakannya, ini nggak nyaman untuk Mas. Kita tinggal bersama tetapi Mas merasa asing setiap kali kita bertatap muka. Berulang kali Mas mencoba mengabaikan kecanggungan itu dengan membuat lelucon ringan, tapi sepertinya kamu nggak begitu tertarik. Jadi Mas menyerah dengan itu."

    Aku terdiam sejenak mengingat kembali kapan dia mencoba membuatku tertawa. Mungkin dia memang pernah melakukannya. Aku tidak ingat.

“Mas tahu kamu pergi kerumah Mama untuk menghindari Mas. Mungkin kamu butuh waktu sendirian. Makanya Mas nggak pernah mengganggu kamu”. Aku melihatnya menarik napas, “Mas minta maaf, masalah kemarin seharusnya memang nggak terjadi. Wajar kamu marah dan sakit hati” ia menambahkan. “Mas benar-benar minta maaf. Mas nggak tahu harus bersikap bagaimana, karena mereka itu keluarga Mas“ ucap Mas sambil memegang tanganku.

Giliran aku yang menarik napas. “Andai masalah seperti kemarin terjadi lagi, tolong bela aku Mas.” Aku mengatakan itu dengan lembutnya. “Dengan begitu aku nggak merasa sendirian menghadapi ini” ucapku sambil menatap matanya.

"Kamu nggak pernah sendirian, Di" kubiarkan dia menggenggam tanganku.

Dia...NdraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang