Bab 8

4.7K 187 0
                                    

Tumben mama telepon pagi-pagi seperti ini.

"Di, hari ini kamu nggak kemana-mana, kan?" tanya mama.

"Nggak, Ma. Emang kenapa?"

"Mbak Dea mau kerumah ibunya. Sekalian mau ketemu kamu."

"Serius, Ma. Emang Mas Abi pulang?" Tanyaku sumringah.

"Mas Abi lagi di Batam. Makanya mbakmu mau kerumah ibunya."

"Halo, Di." Terdengar suara mbak Dea dari seberang.

"Ya Allah… Mbak Dea !!" Teriakku. "Jam berapa mau kesini? Ini beneran, kan? Nggak lagi bercanda,kan? Atau kita ketemu di mall aja, Mbak. Anak-anak pasti senang." Aku bersemangat sekali.

"Mereka juga kangen kamu itu, Di. Kayaknya jam 2 siang bisa deh."

"Ok, kita ketemu di Manhattan aja, ya, Mbak." Aku sudah membayangkan bakalan ketemu ponakan-ponakanku.

Mbak Dea adalah istri dari Mas Abi. Mas Abi anaknya Bude Ning, kakaknya papa. Nah, sewaktu Mas Abi SMP bude Ning dan suaminya, pakde Kardi meninggal dalam kecelakaan bus. Semenjak itu Mas Abi tinggal bersama dengan kami. Papa-mama menganggap Mas Abi seperti anak sendiri. Semua tanggung jawab yang berhubungan dengan Mas Abi di ambil alih oleh papa. Sejak saat itu pula aku seperti memiliki kakak laki-laki. Mereka memiliki putra bernama Dio dan putri bernama Cyla. Mas Abi tinggal di Pekanbaru. Orang tua mbak Dea tinggal di Medan. Ayahnya sudah meninggal jadi hanya tinggal ibunya. Seperti yang mbak Dea bilang karena mas Abi lagi di Batam jadi dia mau kerumah ibunya. Dan kami bisa bertemu.

"Mas, mbak Dea hari ini ke Medan bareng Dio dan Cyla, mau kerumah ibunya. Aku janji ketemuan di Manhattan. Boleh, ya?" Aku berusaha meminta izin suamiku.

"Oh, ya. Mas Abi nggak ikut?"

"Mas Abi dinas ke Batam."

"Oh, ok. Hati-hati, ya."

"Siiip, terima kasih" sambil tersenyum aku mengirim balasan ke mas.

Terbayang wajah Dio dan Cyla yang sudah semakin gede. Pasti sudah pintar ngomel. Dio berusia 7 tahun dan Cyla berusia 5 tahun. Mereka bakalan senang kalau aku ajak main di mall. Tapi aku nggak tahu nama tempat main anak-anak di mall. Semoga saja ada Timezone atau sejenisnya di sana.

Aku sudah menunggu mbak Dea di salah satu tempat makan di mall ini. Ya Tuhan aku sudah tidak sabar bertemu mereka.

"Tante Diaaaannnn!!" suara anak-anak terdengar melengking.

Aku menoleh ke arah suara. "Sayaaaang" aku berada dalam posisi ingin memeluk Dion dan Cyla yang berlari ke arahku. "Dio...Cyla… Ya ampun udah pada gede" aku menciumi pipi mereka.

"Apa kabar, Di?" Mbak Dea memelukku.

"Alhamdulillah, baik Mbak"

"Mama, kita makan disini aja,ya. Mas udah lapar." Dio memegang perutnya. Khas anak kecil kalau lapar.

"Iya, dong. Kita makan disini aja. Mas mau makan apa? Adek Cyla mau apa?" Aku meminta menu kepada waitress.

Anak-anak itu sibuk memilih menu. Waitress itu pun sibuk mencatat pesanan kami.

"Udah selesai masalahmu, Di?" Mbak Dea menatapku sambil tersenyum.

"Masalah apa, Mbak?" Tanyaku bingung.

"Mama cerita katanya kamu kabur dari rumah dan nginap di rumah mama selama seminggu."

Aku pun tertawa "Nggak ada masalah kok, Mbak. Bisa-bisanya mama aja itu" aku mencoba meyakinkannya. "Ada sedikit salah paham antara aku dan tantenya si mas, mbak. Aku hanya merajuk biasa, kok. Beneran, mbak."

Meja kami sudah penuh dengan makanan. Dio dan Cyla anteng banget makannya. Fokus.

"Apa kabar Andra?" tanya mbak Dea.

"Alhamdulillah baik. Kapan Mas Abi pulang, mbak?"

"Sepertinya minggu depan."

"Tante, habis ini kita main, ya. Udah lama nggak main sama tante" Dio sudah kenyang sepertinya. Semangatnya sudah muncul lagi.

"Ok, bos" jawabku.

Banyak sekali pertanyaan anak-anak yang membuatku kewalahan. Mbak Dea senyum-senyum saja. Mungkin dia sudah biasa menghadapi ini. Setelah selesai makan, aku pun mengajak mereka main, seperti yang Dio minta. Kami pun naik ke lantai atas.

Saat kami sedang menaiki eskalator, aku seperti melihat seseorang yang aku kenal. Tapi aku ragu. Aku berusaha mendekatinya, dia ada di depanku. Karena langkahnya terlalu cepat. Akhirnya aku panggil saja.

"Hendra!"

Pria itu menoleh ke arahku. Kami sama-sama terkejut.

"Hendra"

"Mbak Diandra"

Aku meminta mbak Dea membawa anak-anak masuk duluan ke tempat permainan. Nanti aku menyusul.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku. " Lagi cuti? Kok, Mas Andra nggak bilang kamu pulang" lanjutku.

"Mbak ngapain?" kenapa malah balik nanya ini anak.

"Ketemuan ama Mbak Dea, istrinya Mas Abi"

"Mbak, jangan bilang Mas Andra, ya. Mama-papa dan Mas Andra nggak tahu kalau aku balik hari ini. Aku ketemuan ama temen aku di sini, sekalian cari kado buat Mama. Habis ini langsung pulang, kok."

"Kamu cuti?"

"Iya, Mbak" jawabnya. "Mbak, aku duluan, ya, temenku udah nunggu."

"Oh, ok. Hati-hati, Ndra" aku hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh. Waktu terasa cepat berlalu. Dulu dia begitu manja, tapi sekarang sudah dewasa. Aku seperti membesarkannya, karena aku menyaksikan bagaimana ia tumbuh.

Penggalan nama yang sama dengan suamiku membuat mereka kerap kali bingung. Pernah saat acara keluarga, Om Adnan mau meminta bantuan kemudian memanggil hanya penggalan nama mereka, Ndra. Bisa ditebak mereka berdua lari menemui Om Adnan. Dan Om Adnan tertawa karena itu.

Hendra, adik dari Mas Andra. Mereka dua bersaudara. Selama ini Hendra tinggal di Padang dan bekerja di sana.Tapi kenapa Hendra pulang diam-diam? Apa Mas beneran nggak tahu?.

"Tante, ayo main" Cyla memanggilku. Ya ampun aku sampai lupa. Aku bergabung bersama mereka dan menghabiskan hari bersama mereka.

Dia...NdraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang