Bab 10

6.3K 254 7
                                    

Aku masih menyimpannya dalam diam. Jujur, sebenarnya ini sangat menyiksaku. Hanya saja aku tidak ingin emosiku justru menjadi bumerang untukku. Kalau ternyata Mas dan Nadia memang hanya berteman, aku akan sangat malu dan Mas juga akan balik marah ke aku. Selama beberapa hari aku mencoba memperhatikan Mas, tidak ada sesuatu yang aneh. Semuanya berjalan seperti biasa. Mungkin mereka hanya berteman. Toh, aku juga hanya menyaksikan mereka makan kemarin. Mungkin kecemburuanku yang berlebihan. Untung saja kemarin Lintang tidak tahu tentang ini, kalau dia tahu saat ini handphoneku pasti penuh chat dari dia beserta dengan kekepoannya itu.

Mas pulang telat hari ini. Mungkin karena akhir bulan. “Sudah makan Mas?” tanyaku sambil membawakan handuknya.

“Sudah, tadi di kantor” jawabnya, “Mas mandi dulu, ya,” lanjutnya. Aku mengangguk mengiyakan.

Handphonenya bergetar, dan aku melihatnya lagi, notifikasi pesan WA itu. Kali ini aku beranikan untuk membukanya.

“Aku minta maaf karena sudah membuat kamu nggak nyaman dengan kejujuranku. Aku benar-benar minta maaf. Terima kasih untuk hari ini. Dan terima kasih karena mau memberiku kesempatan. Kamu masih belum berubah, Ndra.”

Selesai membaca pesan itu aku merasa kemarahanku mulai menguasaiku. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku menunggu sampai Mas selesai mandi.

“Kenapa Nadia rajin sekali kirim WA ke kamu, Mas?” tanyaku setelah kulihat Mas keluar dari kamar mandi. “Apa maksudnya WA ini?” lanjutku sambil memperlihatkan handphonenya.

“Maksud apa?” jawabnya dalam kebingungan.

“Ada hubungan apa antara kamu dan Nadia? Hari ini kalian ngapain aja? Makan dimana kali ini?” aku kembali mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaanku.

“Ada apa sih ini?” mas yang masih bingung mengambil handphonenya yang aku pegang. Dia membacanya. Wajahnya sedikit berubah.

“Jawab, mas!!” aku sedikit berteriak. Dan mas terkejut dengan itu.

“Nggak ada hubungan apa-apa, sayang” ujarnya.

"Ohh ya. Terus ngapain kalian makan berdua kemarin?” lanjutku masih dalam balutan emosi.

“Kamu tahu darimana?” dia tampak terkejut.

 “Aku melihatnya sendiri. Kamu makan dengan dia. Berdua. Kamu tertawa dengan senangnya. Sebahagia itu kamu sama dia? Jangan-jangan itu bukan pertama kalinya kalian makan berdua. Kalian sering seperti itu dibelakangku?” teriakku yang sudah tidak sanggup lagi membendung air mataku. “jawab aku” lanjutku terisak.

“Nggak ada yang seperti itu, Diandra.” Dia buru-buru memakai bajunya, kemudian mencoba memelukku. Tapi aku menepis tangannya.

“Jujur tentang apa dia sama kamu? Kamu sudah menikah. Harusnya kamu tahu bahwa akrab dengan mantan kamu itu bisa melukaiku. Atau kalian sedang melanjutkan asmara yang selama ini tertunda, iya?” ucapku marah.

“Kamu ini ngomong apa, Diandra” ujarnya kesal.

“Kalau begitu, jelasin ke aku. Ada apa?” lanjutku.

“Nggak ada apa-apa, Diandra. Kami hanya berteman. Nadia hanya mentraktir makan karena kami sudah lama tidak bertemu. Cuma itu, Di...”

“Bohonggg...” aku memotong perkataannya.

“Diandra, sebaiknya kamu tenangin diri kamu dulu. Setelah itu baru kita bicara” ucapnya sambil berlalu dari kamar. 

Aku mendengar suara mobilnya menjauh dari rumah. Dan aku masih menangis membayangkan hal-hal yang aku hayalkan sendiri..

Dia...NdraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang