Bab 1

12.3K 316 6
                                    

Dingin seakan menembus dinding kamarku dan menyapaku dengan ramah pagi ini. Dan sang rival sepertinya masuk melalui ventilasi di atas jendela kamarku. Aku terbangun karena merasa sedikit hangat di wajahku, sambil mencari-cari keberadaan handphoneku yang entah ada dimana untuk mencoba mencari tahu apa yang sedang viral pagi ini. Aku juga hanya berguling-guling di atas tempat tidurku untuk sementara waktu dan bermain dengan selimut sembari mengumpulkan kesadaranku.

“Sarapan, Di” mama mengetuk pintu kamar.

“Iya, Ma.”

Sudah dua hari aku ada dirumah mama, tapi aku belum menceritakan apapun selain mengatakan kalau aku merindukannya dan nanti suamiku akan menjemputku.

Aku Diandra. Usiaku tiga puluh enam tahun. Berstatus sebagai seorang istri rumah tangga. Ya, istri rumah tangga. Karena masih ada aku dan suamiku di rumah. Tapi saat ini aku sedang menghilang sejenak dari rumah, dan bersemedi di tempat ini. Rumah orang tuaku.

“Nanti siang Mama ada acara di tempat Bu Ana. Kamu di rumah aja, ya.”

“Iya, Ma.”

Selesai sarapan aku mencoba menyalakan laptop dan membuka handphoneku. Ada pesan masuk via WA, tertera nama priaku. “Sedang apa, sayang?” mas mengirimiku pesan. Aku tidak menyangka pertanyaan seperti itu membuatku berpikir keras apakah aku harus membalas pesannya atau tidak. Aku duduk di depan laptop sambil memikirkan haruskah aku menjawab pesannya atau tidak. Sesekali aku mengambil handphoneku, tapi kemudian meletakkannya kembali. Sebagian dari diriku seperti menyuruhku untuk membalas pesannya, tapi sebagian lagi menyuruhku untuk tidak melakukannya.

Aku sedikit berselancar di dunia maya. Mencoba stalking media sosial teman-temanku. Dan menulis apa yang terjadi padaku dua hari kemarin. Lebih seperti diary kali, ya, walaupun terkadang nggak penting-penting amat yang aku tulis. Aku melupakan waktu jika sudah didepan laptop. Sudah mulai gelap sepertinya di luar. Kenapa mama dan papa lama sekali pulang dari rumah bu Ana. Tadi siang mereka pulang sebentar tapi kemudian pergi lagi. Bu Ana mengadakan acara syukuran pernikahan putrinya. Bukan resepsi besar, hanya syukuran kecil-kecilan, kata mama.

Sepertinya mataku sudah mulai lelah, rasa kantukku juga mulai datang. Aku melihat ke arah jam dinding ternyata sudah jam 10 malam. Pantas saja pertahananku sudah mulai goyah. Aku keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Aku membawanya masuk kekamarku. Aku pandangi laptop putih di tempat tidurku. Sepertinya cukup untuk hari ini, aku menyerah dengan rasa kantukku dan akhirnya merebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku mematikan lampu kamar dan berpindah ke mode lampu tidur. Aku pandangi langit-langit kamarku dalam cahaya redup. Aku mengambil handphoneku. Aku tidak membalas pesannya hari ini. Aku mengalihkan perhatianku dengan melihat-lihat foto yang aku simpan. Tapi aku sengaja melihat foto dan juga video priaku. Dan bisa ditebak, aku merindukannya.

****

Hampir satu minggu aku berada di rumah mama. Mungkin ada banyak pertanyaan yang ingin mama tanyakan padaku. Kenapa? Mengapa? Ada apa? Aku belum mengatakan apapun padanya. Aku datang karena ingin membuat suasana hatiku menjadi lebih baik. Aku tidak ingin membebaninya dengan ceritaku, walaupun mungkin dihatinya dia ingin jika anaknya berbagi cerita dengannya.

“Kapan Andra datang?”

“Hah...Uhh.. belum tahu, Ma. Nanti Diandra tanya.” Aku terkejut mendengar pertanyaan mama.

“Ada apa sebenarnya? Kalian berantem?” Aku hanya diam saja mendengar Mama menginterogasiku. "Kalau memang ada masalah sebaiknya diselesaikan, jangan justru kabur kayak gini" sambungnya .

"Iya, Ma” aku menjawab singkat sambil berjalan menuju kamarku.

Selama aku menikah aku tidak pernah ingin melibatkan orang tuaku dalam urusan rumah tanggaku. Tapi kali ini aku membutuhkan suasana yang baik untuk memperbaiki hatiku. Aku juga tidak sedang dalam masalah yang mengerikan dengan suamiku, setidaknya itu menurutku. Sama sekali aku tidak bermaksud menghindari masalahku. Aku hanya ingin memastikan perasaanku dengan baik kemudian aku pulang dan memikirkannya dengan hati dan juga kepala yang dingin.

Namanya Andra Permana Putra. Dia pria biasa, juga bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan advertising. Dia sangat baik terhadapku, bahkan sabarnya menghadapi sikapku adalah yang paling aku suka. Tapi akhir-akhir ini kami bicara seperlunya saja. Aku lupa kapan terakhir kami ngobrol santai sebagai suami dan istri. Ada perasaan yang berbeda, aku terus menerus bertanya di dalam hati. Ada apa di antara kami? Apa dia telah berubah? Ataukah aku yang berubah?.

Darimana aku mulai menceritakan apa yang sedang terjadi pada kami kepada mama? Aku benar-benar tidak ingin membebaninya. Aku selalu meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengurusnya sendiri.

"Kapan Andra datang?"

"Dia nggak akan datang, Ma. Dia banyak kerjaan" aku membuat alasan.

"Kalau Papa yang menelepon pasti dia akan datang" papa menatapku.

What…

"Telepon aja, Pa. Suruh dia jemput Diandra. Biar kita tahu ada apa sebenarnya." Mama sepertinya memprovokasi papa dan wajahnya terlihat sangat puas.

Aku diam saja, walaupun sebenarnya aku takut. Pasti situasinya akan canggung nanti kalau mas sampai datang kesini.

"Nggak usah repot-repot, Pa. Besok Diandra pulang. Diandra nggak cerita karena Diandra yakin bisa menyelesaikannya sendiri. Mama dan Papa nggak perlu menerka-nerka apa yang terjadi. Karena semuanya memang baik-baik saja.

Lampu teras rumahku menyala, berarti suamiku sudah pulang. Aku menepati janjiku pada papa untuk pulang hari ini. Aku menarik napas begitu dalam ketika membuka pintu rumahku.

“Assalamu alaikum”

“Waalaikum salam. Loh, kenapa nggak bilang pulang hari ini. Kan, bisa Mas jemput.” Suamiku menyambutku dengan senyuman. Sudah lama senyum itu menghilang. Aku merindukannya.

“Aku takut Mas lembur. Hari ini kan akhir bulan" tentu saja itu hanya alasanku.

“Udah makan?”

Aku menggeleng

“Mau makan apa?”

Beberapa saat terdiam akhirnya aku hanya berkata, “Biasa”. Maspun bergegas keluar untuk membelikannya untukku. Menu yang kusebut biasa itu adalah ayam penyet tanpa nasi yang dijual dekat rumahku. Sambalnya membuat aku ketagihan, entah bagaimana dia membuatnya.

Tapi situasi aneh macam apa ini. Bagaimana bisa aku tidak memeluknya padahal aku begitu merindukannya. Ya, aku merindukannya.

Dia...NdraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang