Entah ada apa dengan lalu lintas sore ini. Ini masih Rabu, bukannya Jumat tapi kenapa luar biasa macetnya. Aku juga nggak tahu kenapa happy banget macet kali ini, padahal biasanya liat kemacetan tuh emosi aja bawaannya. Aku melihat jam tanganku, semoga aja sampai di rumah sakit saat jam besuk sudah habis. Aku berharap dalam hatiku.
Tante Mira masuk rumah sakit, mas memberi tahuku siang tadi. Dan setelah dia pulang kerja aku harus ikut dengannya ke rumah sakit. Itulah mengapa aku berharap jam besuk habis saat kami sampai disana. Malas sekali rasanya ketemu wanita itu. Entah drama apa lagi yang akan terjadi hari ini.
Sepertinya Tuhan merestui perjalanan ini. Kami mendarat dengan mulus di rumah sakit sebelum jam besuk habis. Bahkan mudah sekali mendapatkan parkir. Aku memang pernah mendengar, kalau kamu berdoa yang buruk untuk orang lain, bisa jadi yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali aku memperlambat langkahku dengan menaiki tangga daripada lift. Tapi apa dayaku, mas selalu menarik tanganku agar mengikuti langkahnya.
Ruangan dengan dua tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai ditengahnya, dan sebuah kamar mandi di dekat pintu masuk. Juga sebuah televisi di tengah-tengah bagian dinding yang menghadap pasien. Ada lima buah kursi plastik yang disusun bertingkat di sudut ruangan. Mama dan papa mertuaku sudah lebih dulu sampai di rumah sakit. Tempat tidur tante Mira berdekatan dengan pintu masuk. Sepertinya ada pasien di tempat tidur sebelah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa karena tirai pembatas itu menutupinya. Tidak lama setelah kami datang masuk seorang perempuan cantik, sambil tersenyum dan membungkuk dengan sopan dia melewati kami menuju tempat tidur pasien di sebelah tante Mira. Tidak asing wajahnya. Dimana aku pernah melihatnya.
“Andra!” ucapnya.
“Nadia” Mas sedikit kaget.
Oh, ya. Sekarang aku ingat. Itu Nadia.
“Jenguk siapa?” Mas bertanya.
“Ibu yang sakit, Ndra” ucap Nadia sambil memegang perempuan separuh baya di sebelah tante Mira. Kami pun menyalami wanita tua itu.
“Siapa yang sakit, Ndra?” gantian dia bertanya.
“Tante Mira yang sakit. Oh ya, ini Mama dan Papa” jawab mas. Nadia menyalami Tante Mira, mama dan papa mertuaku.
“Tante masih ingat ama aku?” ucap Nadia kepada mama mertuaku. “Aku teman kuliahnya Andra, Tante. Aku pernah kerumah Tante juga waktu masih kuliah" Nadia melanjutkan.
“Maaf, ya, Tante lupa” jawab mama mertuaku.
"Gapapa, tante. Udah lama juga" ucapnya.
Terjadi reuni kecil-kecilan di rumah sakit. Kedua keluarga terlibat obrolan santai yang sepertinya menarik. Tapi bagus juga, biar tante Mira nggak buat drama lama denganku. Sesekali aku menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Selebihnya aku hanya senyum setiap kali mereka tertawa. Tapi, kenapa aku merasa sedikit terganggu,ya. Ada cemburu-cemburu gimana gitu. Gimana nggak cemburu, mereka membahas saat mereka pacaran sewaktu kuliah. Masa,iya, aku disuruh dengerin full. Bisa step akunya.
“Panjang x lebar x tinggi ceritanya, mak. Reuni dadakan sepertinya ini” laporku pada Lintang melalui WA.
"Reuni apaan?"
Mungkin dia bingung karena aku tiba-tiba nge-WA.
"Aku lagi di Murni Teguh, nih, ngejenguk tante Mira. Dan ternyata emaknya si Nadia juga sakit dan di rawat disini. Sekamar pula ama tante Mira" ceritaku.
“Hah... terus"
"Seperti yang aku bilang tadi, reuni dadakan."
"Ya udah ikut ngobrol aja. Biar makin seru" ledek Lintang.
"Nggak, ah, mereka lagi nostalgia membahas zaman kuliah. Mana aku ngerti. Plus saat mereka masih pacaran."
"Hahaaha, jadi dirimu ngapain disitu"
“Pelengkap penderita, mak" ucapku.
“Nadianya ngapain aja?” kepo Lintang.
“Dia senyum-senyum aja, sesekali memukul lengan Mas Andra. Mungkin karena mereka pernah dekat kali, ya, jadi dia merasa boleh melakukan itu. Ngapain coba? Lebay” aku sedikit kesal.
“Dia sebenarnya udah nikah atau belum?” tanya Lintang.
“Tante Mira tadi juga tanya tentang itu. Dia belum nikah, mak. Nadia udah cerita waktu pertama kali kami ketemu di toko buku kemarin. Dia kerja di Pekanbaru, sekarang ini dia lagi cuti. Jadi dia pulang ke rumah orang tuanya. Nah, dua hari yang lalu Emaknya masuk Rumah Sakit karena hipertensi. Berhubung kamar VVIP full, jadinya sementara diruangan yang sama dengan Tante Mira.” jelasku panjang dan lebar.
“Ohh, ini kalian masih disana? Belum pulang?” tanya Lintang.
“He eh, lama kayaknya, nih. Pake tukaran no hp pula lagi” ujarku.
"Di, udahan dulu, ya. Mertuaku datang. Nanti aku sambung lagi, kalau ingat. Santai aja di sana."
"Hahaha, ok lah" geblek si Lintang. Disuruhnya aku santai, emangnya lagi liburan.
Tante Mira mulai mencari perhatian Nadia. Dia mulai bertanya kriteria pria idamannya. Mau dijodohkan dengan keponakannya yang lain, kali, ya. Ops, aku lupa kalau suamiku punya adik laki-laki yang masih lajang, Hendra. Tapi umurnya jauh lebih muda dibandingkan dengan Nadia. Tapi apa yang tidak mungkin. Bisa saja, kan.
"Bekerja sebagai apa, Nadia?" Tante Mira mulai kepo.
"Di bagian pemasaran, Tante" jawabnya.
"Kenapa Tante senang sekali?" Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan wajah sinisku melihat tante Mira seperti itu.
"Masa, sih. Nggak, ah. Biasa aja. Perasaan kamu aja, kali"
OMG. Hanya perasaanku aja katanya. Anak kecilpun tahu bahwa wajah itu wajah bahagia. Sumringah. Layaknya anak kecil yang senang kalau diberi permen. Aku sedikit ragu kalau dia sakit. Kelihatannya sehat. Sehat banget malah. Ngapain repot-repot pindah tidur kesini.
"Wah, yang kurang tinggal jodohnya aja ya, bu. Si Nadia ini" ucap tante Mira kepada ibunya Nadia. "Kalau Tante kenalin ama seseorang, mau?" Lanjutnya.
"Siapa Tante? Andra? Atau Hendra?" Kusambar saja obrolan itu.
Aku nggak melihat reaksi keluarga lainnya, aku hanya menunduk pura-pura memainkan handphoneku. Mungkin mas sedang melotot ke arahku. Sebenarnya aku bukan tipe yang suka bicara apa adanya atau cenderung blak-blakan, hanya saja karena tante Mira sepertinya suka bicara seperti itu kepada siapa saja, maka aku penuhi keinginannya. Sesekali melawan perkataannya aku rasa boleh-boleh saja. Walaupun terkadang aku deg-degan setelah melakukan itu. Tapi kali ini nggak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia...Ndra
RomanceDiandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi masalah dengan keluarga suaminya. Kini Diandra juga dipusingkan dengan masalah mantan kekasih suaminy...