Minggu pagi ini kami berencana ke toko buku. Ada buku yang ingin mas cari. Aku menyetujuinya, karena aku juga sedang ingin ke sana. Toko buku terbesar dan terkenal di kota ini, Gramedia. Aku senang berada di tempat ini. Karena begitu menenangkan dan begitu nyaman.
Buku-buku tersusun rapi sesuai dengan jenis yang sudah ditentukan oleh toko. Sampul buku yang beraneka warna dan gambar menjadi pemanis yang meluluhkan ego. Alunan musik Kenny G yang sering diperdengarkan di toko ini membuat kenyamananku berada di level dewa.
Kami tidak selalu bersama jika sudah berada di dalam toko ini. Kami memisahkan diri untuk mengikuti arah kata hati masing-masing. Dia yang menyukai tumpukan buku marketing dan pengembangan diri dan aku yang lebih menyukai tatanan epik sang kata dalam novel.
Sesekali aku mencari sosoknya yang tenggelam dalam keramaian dan tingginya rak-rak buku. Dari kejauhan aku melihatnya berbicara dengan seseorang, hanya saja aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang dia ajak bicara. Mungkin dengan pegawai toko buku ini, karena dia sedang mencari buku yang ada dalam listnya.
Aku kembali fokus mencari novel yang ingin aku baca. Membaca sedikit bagian novel yang sudah tidak terbungkus plastik adalah hal yang menyenangkan. Tapi jika tidak ada yang terbuka, tidak berarti aku membukanya. Aku tidak seberani itu.
“Udah dapat novelnya?” Mas ternyata udah berada dibelakangku.
“Hah.. Udah. Tinggal dikumpulin aja” ujarku sambil meletakkan novel ke tempatnya.
Aku mengambil novel-novel yang sudah aku tandai untuk aku beli. Aku punya kebiasaan tidak langsung membawa novel yang aku inginkan saat masih di dalam toko. Menurutku merepotkan menentengnya kemanapun aku bergerak sambil melihat novel-novel yang lainnya. Aku hanya menandai novel dan tempatnya. Jika sudah ingin membayar, barulah aku menjemput novel-novel tersebut dari rumahnya.
Saat mengantri untuk membayar, seorang wanita terlihat menghampiri mas kemudian menyapanya.
“Andra?” ucap wanita itu ragu-ragu.
Berpikir sejenak, “Nadia” mas juga tampak terkejut sambil menunjuk wanita itu.
“Ya ampun. Apa kabar, Ndra?”
“Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?” Mas mengajukan pertanyaan yang sama.
“Aku juga baik” balas wanita itu.
Aku hanya berdiri mematung ditempatku dan tersenyum melihat tingkah keduanya dengan rasa penasaran.
“Kenalkan, ini istriku” mas menarikku kearahnya.
“Diandra” aku mengulurkan tanganku.
“Nadia” wanita itu menyambut tanganku sambil tersenyum.
Tiba giliranku untuk membayar di kasir. Dan aku meninggalkan keduanya yang terlihat mengobrol. Entah apa yang mereka obrolkan, aku hanya mendengar suara mereka samar-samar. Setelah selesai membayar, aku mendatangi keduanya dan berdiri di samping suamiku.
“Udah?” tanya Mas.
“udah”
“Baiklah, Nad, kami duluan. Salam sama Ibu” ucap mas.
“Ok, Ndra. Salam juga sama Mama” kata Nadia
Saat berjalan menuju parkiran aku memberanikan diri bertanya.
“Siapa?” Aku melihatnya dengan memainkan mataku.
“Nadia. Kami pernah dekat saat masih kuliah dulu” cerita mas.
“Ooo” aku membulatkan mulutku dan membuatnya sedikit bernada.
“Apa sih?” Mas sedikit kesal.
“Cuma bilang ooo aja, nggak boleh?”
Mas tersenyum dan akupun tertawa. Aku juga tidak bertanya lebih jauh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia...Ndra
RomanceDiandra merasa keluarga suaminya tidak menyukainya. Pasalnya selama sepuluh tahun menikah Diandra belum memiliki anak. Tidak hanya harus menghadapi masalah dengan keluarga suaminya. Kini Diandra juga dipusingkan dengan masalah mantan kekasih suaminy...