Aku membuka mataku dan aku sudah berada di dalam rumah Dean. Lagi. Aku duduk di sofa ruang keluarga. Di luar hujan deras, aku bisa mendengar suara gemuruh bersahutan. Ada yang aneh. Suasana rumah Dean terasa lebih remang-remang dan lebih senyap dari terakhir aku berkunjung. Aku beranjak dari duduk, hendak mencari Dean.
"Dean?" Kataku, memanggil Dean.
Terdengar suara kaki dari ruang sebelah ruang keluarga. Aku sontak menoleh. Dean berjalan sambil menggandeng seorang anak perempuan. Mereka berjalan menuju tangga tanpa melihatku.
Anak itu yang jelas bukan Denise. Aku tidak tahu siapa anak perempuan berambut pirang panjang hingga menutupi separuh badannya itu.
"Dean!" Seruku, berhadap Dean menyahut.
Tapi Dean dan anak perempuan tidak dikenal itu terus berjalan menaiki tangga tanpa melihatku. Bahkan aku bisa mendengar anak perempuan itu tertawa. Entah apa yang lucu sehingga anak itu tertawa. Sambil berjalan, anak itu pun menoleh padaku. Ia menatapku langsung ke mataku dengan bola matanya yang.. putih? Wajah anak itu tampak retak dan penuh luka. Darah merah keluar dari tepi-tepi wajahnya dan hidungnya. Anak itu tersenyum menyeringai. Lalu kembali melihat ke arah Dean dan tertawa.
Aku sejenak tidak bisa bergerak ketika melihat wajah anak kecil itu. Wajahnya rusak, dengan kulitnya yang sangat pucat. Tapi Dean terlihat tidak takut dan tetap menggandeng anak itu pergi. Bahkan tertawa bersama anak kecil itu.
Setelah aku merasa bisa menggerakkan tubuhku lagi, aku langsung berlari ke tempat Dean dan anak itu pergi. Aku menaiki tangga secepat yang aku bisa. Ketika aku sampai di ujung tangga, aku melihat salah satu pintu terbuka. Pintu kamar Dean. Dan terdengar lagi suata tertawa anak kecil itu. Aku bergegas lari menuju kamar Dean.
Yang kutemukan adalah Dean, sendirian, sedang memegangi kabel lampu tumblr yang tadinya menghiasi dinding kamarnya. Kabel lampu itu melingkar di lehernya. Ujung dari kabel lampu itu terikat di terali. Ia berdiri di atas kursi belajarnya. Kali ini Dean menatapku. Lalu tersenyum. "Maafkan aku, Al," ucapnya singkat.
"Dean.."
Ketika aku selangkah mendekatinya, Dean pun melompat. Seluruh darah di tubuhku berdesir. Tenggorokanku terasa seperti dicekik. Aku ingin sekali teriak, tapi tidak ada suara yang keluar.
.
.
.Aku langsung membuka mataku dan refleks berteriak. Hanya mimpi. Tapi demi Tuhan, itu terasa sangat nyata. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku tidak bisa tenang. Perasaanku sangat tidak enak sekarang tentang Dean. Aku harus bertemu dengan Dean.
Aku segera menggapai handphone ku yang kuletakkan di meja nakas. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Pikiranku sangat tidak beres sekarang. Pokoknya aku harus mendengar suara Dean. Aku harus melihatnya dan memastikan ia baik-baik saja.
Aku menelepon Dean sebanyak 10 kali dan Dean tidak mengangkatnya. Aku mencoba untuk berpikir positif kalau Dean sudah tidur, tapi tidak bisa. Selalu ada pikiran jelek yang berkata lain. Orang kedua yang berada di pikiranku sekarang adalah Yvan.
Aku pun meneleponnya. Setelah 10 kali nada sambung, Yvan pun mengangkat telepon.
"Al, Jesus Christ, ini jam 3 dini hari. Kau mau apa?" Tanya Yvan. Suaranya terdengar parau, khas orang bangun tidur.
"Yvan.." kataku dengan suara panik.
"Kau baik-baik saja? Ada apa?" Tanya Yvan.
"Aku tau kau pasti akan mengira aku gila. Tapi aku baru saja mendapat mimpi yang sangat buruk tentang Dean. Aku harus melihatnya sekarang, Yvan.. kau harus temani aku ke rumah Dean. Sekarang.." kataku. God knows betapa pikiranku sangat kacau sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Friends
Teen FictionSetelah kepergian adiknya, Alana memutuskan untuk pindah dari LA ke sebuah kota kecil di Atlanta, dan tinggal sendirian di sana untuk memulai hidup baru. Di hari pertama di sekolah barunya, ia langsung menjadi bagian dari sebuah kelompok pertemanan...