Chapter Eleven: Stigma

32 4 0
                                    

Baru-baru ini mom mengirimkan sebuah sepeda untukku. Katanya aku harus melatih betisku sesekali. Katanya juga supaya aku bisa ke 7 Eleven tanpa harus jalan kaki.

Minggu pagi ini perdana aku mencoba sepeda baruku ke 7 Eleven. Aku sedang ingin sarapan bagel dan kopi hazelnut. Kebetulan juga cuaca pagi ini sedang mendukung untuk naik sepeda. Aku menghabiskan bagel dan kopiku dine in, di meja makan di luar 7 Eleven. Aku juga membeli beberapa mi ramen untuk di apartemen.

Setelah selesai makan dan belanja, aku pun beranjak dari duduk. Mengambil sepedaku dari parkir sepeda. "Sudah selesai makannya, Al?" Tanya Isabel, salah seorang pekerja di 7 Eleven yang hafal namaku dan geng karena kami keseringan jajan disini.

"Sudah, Isabel," jawabku.

"Kau akan pulang sekarang? Hati-hati di jalan!" Serunya.

Aku membunyikan lonceng sepeda tanda "terima kasih!"

Untuk pulang dari 7 Eleven ke apartemenku, aku harus melewati sebuah T Junction. Dan rumah Dean terletak di sebelah kiri T Junction itu. Pintu rumah Dean terbuka lebar. Loh, ada apa ini?

Aku refleks belok ke kiri untuk merapat ke rumah Deandra. Apa ada polisi datang berkunjung? Tapi tidak ada mobil polisi disini. Atau ada orang tua Dean?

Aku meletakkan sepedaku sembarang. Lalu masuk begitu saja ke rumah Dean, lancang memang. Tapi aku harus tahu apa yang terjadi.

Bruk! Terdengar bunyi sesuatu yang jatuh dari lantai atas. Tepatnya dari kamar Dean. Aku refleks berlari menaiki tangga untuk ke sana.

"Molly?" Gumamku.

"Oh, Alana. Halo..." sapa Molly begitu melihatku. "Silly me.. aku baru menjatuhkan kardus ini.." katanya, menunjuk ke sebuah kardus di lantai.

"Berat ya? Biar aku bantu.." kataku. Aku membantu Molly meletakkan kardus yang agak berat itu ke atas kasur.

"Pintunya terbuka lebar, jadi aku kira ada apa-apa.." kataku tanpa ditanya.

"Aku pasti lupa menutupnya juga. Tidak apa-apa, Al.." ujar Molly sambil tertawa kecil. "Dasar pelupa.."

Aku melihat ke sekeliling kamar Dean. Buku-buku di meja belajar sudah tidak ada. Bingkai-bingkai foto di partisi sudah tidak ada. Poster di tembok sudah tidak ada. Koleksi plushie Dean sudah tidak ada.

"Ibu Dean ingin menyimpan barang-barangnya.." kata Molly, seperti tahu apa yang ada di pikiranku. "Mereka akan menjual rumah ini."

"Oh, begitu.." gumamku.

"Kau tahu, aku masih merasa kalau Dean masih ada disini.." kata Alana. "Aku masih merasa Dean akan keluar dari kamarnya dan berteriak 'selamat pagi, Mol! Apa yang kita punya untuk sarapan?'.." Molly tertawa kecil.

"Orangtuanya sering berpergian, hingga akhirnya mereka bercerai. Sejak ia kecil di rumah ini hanya ada aku, Dean, dan Denise yang malang. Dia sudah seperti anak yang tidak pernah kupunya. Bayiku.." Kali ini Molly menangis. Aku hanya bisa mengusap punggungnya.

Molly pun menghapus air matanya dengan lengan bajunya. "Kau tahu? Kau boleh ambil salah satu barang milik Dean sebagai kenang-kenangan.." katanya.

"Kau mau mr.Lamlam? Itu kesayangan Dean sejak ia masih kecil. Dean membawanya kemanapun ia pergi." Molly mengangkat sebuah plushie domba yang agak usang. Kurasa itu plushie yang dibawa Dean saat kami pergi roadtrip.

"Bolehkah aku menyimpannya?" Tanyaku.

"Oh tentu. Kau boleh menyimpannya. Kau mau menyimpan apa lagi? Ambil saja.." jawab Molly.

Best FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang