Amico

44 8 5
                                    

Jangan lupa Vote dan Komen

Ingin rasanya aku mengumpat. Saat melihat cafe yang kita jadikan untuk tempat mengerjakan novel, terlihat sepi tanpa ada seorangpun. Setelah mendengar penjelasan singat Keano, dia baru paham. Kalau cafe ini sudah di sewanya selama 3 jam. Semua yang aku rencanakan sia-sia saja.

Keano memang menempati janjinya untuk mengerjakan novel di cafe. Tapi mengapa sampai harus di sewanya. Tetapi jawabannya logis ketika aku menanyakan perihal tersebut.

    "Karena aku tidak suka kalau ada pengganggu saat aku sedang berfikir mencari ide. Sedangkan kalau tidak disewa, pasti banyak orang yang mengunjungi dan akan mengganggu konsentrasiku"

Double shit. Inginku tenggelamkan sekarang juga wajah polosnya ketika menjawab pertanyaanku. Aku selalu saja dibuat kesal olehnya.

Sebelum berangkat kesinipun kita sempat berdebat. Dan jangan lupakan kalau aku sempat menolak kemarin malam saat Keano akan menjemputku untuk kecafe bersama. Tapi dia kepala batu. Pagi buta dia menculikku, dan dibawa ke apartemennya. Untung saja aku sudah mandi dan memakai kemeja dan celana bahan.

Dia mengajakku untuk sarapan bubur ayam kesukaannya. Dia beralasan kalau aku selalu tampak sakit, dengan wajah memerahku.

    'Itu bukan sakit bodoh. Tapi karena kelakuanmulah aku jadi begini'

Ingin rasaya aku meneriakkan kata-kata tersebut di depan mukanya. Tapi setelah menatap netra cokelat keemasan itu, aku tak sanggup. Aku lemahh.

    "Kau mau memesan kopimu lagi? Sepertinya kau sangat suka dengan kafein itu."

Ya aku sangat senang sekali saat melihat menu cafe ini. Banyak sekali jenis kopi disini, dengan beraneka ragam rasa pula. Aku juga tidak sadar kalau sudah menghabiskan 2 gelas selama 1 jam lebih.

Rasanya kepalaku sangat pening. Sampai tidak sadar telah menghabiskan kopi itu. Ditambah lagi Keano sangat cepat saat mengatakan point dari setiap paragraf. Padahal aku belum fasih dalam mengetik cepat.

    "Tidak, nanti aku kembung. Aku pesan air putih saja."

Keano memesan apa yang tadi aku inginkan, dan tak lama pelayan datang dengan segelas air putih dingin.

    "Bagaimana kalau di awal cerita, kita menyajikan permasalahannya. Tapi hanya sedikit, seperti spoiler sedikit mengenai masalah utamanya. pasti para pembaca akan merasa penasaran"

Memang ide yang selalu ia lontarkan sungguh sangat cemerlang. Tapi aku tidak habis fikir, kalau ada campur tangan dengan orang lain. Aku ingin sekali menanyainya tapi tak enak hati. Aku segera mengetik point yang ia bicarakan di laptop ku.

Keano sedang berfikir dengan buku di tangannya. Dia selalu mempesona, aku merasa tidak pernah bosan untuk memandangi gayanya.

    "Han, setelah makan siang. Kita lanjutkan menulisnya di Apartemenku saja ya. Sepertinya vivi sakit saat aku tinggal kesini."

Vivi adalah anjing kesayangan Keano. Anjing pudel yang aku lihat kemarin. Dia memang sangat menyayangi anjing itu, terlihat saat memeluknya dengan hangat dan bermain beraama anjing jenis pudel tersebut.

Aku hanya mengangguk setuju. Percuma saja di cafe, kalau masih tetap bedua saja di tempat sepi ini. Seakan para pegawaipun lenyap, dan akan muncul kalau Keano memanggilnya. Entahlah berapa rupiah yang dia keluarkan untuk menyewa cafe kopi ini, kuharap tidak mahal. Karena aku jadi tak enak hati. Ide menulis di cafe itu dariku, dan dia merasa tak keberatan.  Kalau saja kemarin dia bilang, agak merasa risih di tempat ramai, maka aku akan memberikan tempat lain.

...

   "Mengapa kau jadi pendiam, han?" Tanya Keano, yang sedang menyetir mobilnya.

Kita sedang menuju kearah Apartemen Keano, setelah makan siang di salah satu restoran ayam terkenal di amerika.

Pertanyaan mengenai Keano terus berputar di kepalaku. Sampai kepalaku pusing kerena menahan rasa ingin tau ini. Ada sedikit keberanian untuk menayakan pertanyaan yang selalu terngiang di kepalaku. Aku akan menanyakan sekarang.

   "Apakah aku boleh bertanya kepadamu"

  "Boleh, asal kau mau memanggilku dengan nama saja. Dan tidak ada kalimat baku di ucapanmu itu han."

Aku gelagapan mendengar ucapannya. Otakku masih memproses setiap ucapan yang Keano bilang. Dia menyuruhku untuk memanggilnya nama saja. Apa dia sudah menganggapku temannya bukan rekan kerja.

    " Baiklah, Key" Ucapku gugup. Karena pertama kalinya aku memanggil Keano dengan nama.

    " Jadi apa yang ingin kau tanyakan?"

    "Mengapa kau, memakai jasa ghost writer. Padahalkan kau sangat pintar dalam menyusun kata, dan banyak sekali ide cemerlang di kepalamu itu"

   "Jadi kau memuji otakku ini Hana Oktaviani" Ujarnya dengan senyuman percaya dirinya.

   "Bukan maksudku seperti itu, tapi aku cuma ingin tau saja. Padahal kau punya segalanya, mengapa harus melibatkan orang lain."

   "Jadi kau tidak mau menulis dengan orang tampan dan memiliki otak cerdas ini han?" Tanyanya dengan raut wajah yang dibuat-buat memelas.

Aku hanya memutar bola mataku malas, yang disambut oleh gelak tawanya. Bibir indah itu tertawa lepas seakan tidak memiliki beban. Dan diakiri dengan senyum manis olehnya. Aku tertular sampai tak sadar melengkungkan sudut bibirku. Tapi aku masih penasaran, dan mengapa sepertinya ia mengalihkan pembicaraan itu.

....

Amico (Bahasa Italia) artinya Teman.

Yahhh cuma dianggap teman:")


Jangan lupa Vote dan Komen

Annoying LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang