Bagian 04

24.5K 488 6
                                    

"Kalau begitu sekarang juga kita ke rumah Nurmala!"  Wanita paruh baya itu lantas berdiri meninggalkan meja makan.
Bara mencoba menenangkan sang bunda. Namun, wanita cantik yang memiliki nama Aida itu kekeh hendak ke rumah calon besannya.

"Bunda sabar dulu! Kita beri waktu pada keluarga Nurmala untuk ...."

"Gak ..., gak bisa. Kita harus ke rumah Nurmala. Sekarang!" sela Aida.

"Yah, jangan diam saja. Tenangin Bunda! Kita gak mungkin ke rumah Nurmala, ini sudah malam."

"Ayah bisa apa? Kamu kan tahu bagaimana Bundamu." Lelaki paruh baya bertubuh atletis bernama Wisnu itu memang selalu tak bisa berkutik jika sang istri sudah memiliki kemauan.

Bara mengacak rambut kemudian mengurut keningnya yang mulai terasa pusing. "Arrgh! Kenapa pake acara keceplosan segala. Sial!" Meracau sambil berjalan mengekor di belakang sang ayah menuju garasi. Di mana sang bunda sudah berada dalam mobil, dan membunyikan klakson sedari tadi.

"Sabar, Bun!" ujar Wisnu sembari membuka pintu mobil. Lantas duduk di depan setir.

"Ayo cepat Yah, kita butuh penjelasan dari keluarga Nurmala. Gak bisa nanti-nanti."

Bara hanya duduk terdiam di jok belakang. Tidak tahu lagi harus berbuat apa?

Sementara di kediaman Nurmala suasananya berubah kaku. Semua berkumpul di meja makan menikmati makan malam. Namun, hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada obrolan apalagi candaan seperti malam-malam sebelumnya.

Nurmala menatap satu persatu anggota keluarganya. Mulai dari ibu, ayah, serta sang kakak. Semua terasa bagai orang asing kini.

Membanting sendok ke atas piring, urung menghabiskan makan malamnya.  Kemudian berlari ke kamar, dan mengunci pintu lalu menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa ini terjadi padaku?" ucapnya di sela isak tangis sambil memukuli perutnya.

"Kamu anak siapa?  Kenapa harus aku? Hah! Kenapa?!" Gadis malang itu semakin kuat memukuli perutnya. "Gara-gara kamu semua jadi kacau! Arrrgh!" Mengacak rambut panjangnya kemudian menenggelamkan wajah di sela lutut, dan kembali tersedu.

"Nur, buka pintunya!" pekik sang ayah dari balik pintu.

"Nur, buka pintunya Nak! Jangan buat kami khawatir!" imbuh sang ibu sambil terisak jua.

"Nur, kalau dalam hitungan ke tiga gak kamu buka juga, pintunya bakal kakak dobrak lagi." Kemudian Haris mulai menghitung. Namun, baru hitungan ke dua terdengar deru mesin mobil memasuki halaman depan rumahnya.

"Biar ayah lihat, siapa yang datang? Kamu terus bujuk adikmu supaya membuka pintunya." Haris mengangguk begitu juga sang ibu. Kemudian Hardi berlalu dari depan kamar Nurmala menuju teras.

Sementara Nurmala berdiri berjalan terhuyung ke dekat jendela. Menyibak tirai melihat siapa yang datang dari balik kaca jendela. "Bara," desisnya. Kemudian mengusap air mata, dan ke luar dari kamar.

Melihat knop pintu bergerak rasa khawatir yang menyergap Haris dan Hesti perlahan sirna. Setelah pintu terbuka dan Nurmala keluar, sang ibu segera memeluknya.

"Jangan lakukan itu lagi, Dek!" Haris sambil mengusap pucuk kepala Nurmala. Gadis itu tak menjawab hanya menatapnya sekilas. Lalu melepaskan pelukan sang ibu, dan berlalu ke ruang tamu.

Di sana keluarga Bara sudah duduk di sofa. Nurmala ditatap penuh selidik oleh kedua orang tua kekasihnya itu. Setelah menyalami Aida dan Wisnu, Nurmala turut duduk di samping sang ayah.

Tak lama Hesti dan Haris juga turut bergabung.

"Jeng Aida, Mas Wisnu, tumben malam-malam begini bertandang. Ada apa?" Hesti mencoba mencairkan suasana dengan berbasa-basi. Namun, dari keluarga Bara tak ada yang menyahuti. Semua memasang wajah datar.

"Eum, oh, ya, pada mau minum apa?" Lagi, Hesti mencoba membuka pembicaraan setelah sebelumnya semua terdiam beberapa saat.

"Gak usah repot-repot, Jeng. Kita ke sini cuma mau mendengarkan penjelasan dari Nurmala perihal kehamilannya!" jawab Aida dengan nada ketus.

"Sabar, Bun!" Wisnu mencoba menenangkan sang istri. Namun, malah mendapat sambaran mata elang Aida.

Nurmala tertunduk memainkan jemarinya, dan perlahan air matanya mulai luruh.

Hardi mengusap bahu putrinya itu, mencoba menyalurkan kekuatan. Begitu juga sang ibu yang duduk di sebelah kirinya, menggenggam jemari Nurmala.
Meski sejatinya mereka juga kecewa. Namun, naluri orang tua tetap tak tega melihat putrinya berada dalam masa yang rumit.

Nurmala menoleh ke arah sang ayah kemudian menoleh sang ibu. Hesti mengangguk pelan memberi isyarat agar ia menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada keluarga Bara. Gadis itu lantas mengusap air matanya mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.

Setelah keberanian terkumpul ia mulai menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Namun, kedua orang tua Bara tak percaya dengan penjelasan Nurmala.

"Konyol, mana ada kehamilan yang terjadi secara tiba-tiba. Itu pasti alibi kamu kan?"

Nurmala menggeleng. "Engak ..., Tante itulah yang se ...."

"Berarti sudah jelas, bukan Bara ayah dari anak yang kamu kandung itu 'kan? Kalau begitu pernikahannya lebih baik dibatalkan saja." Aida kemudian berdiri.

Bara dan Wisnu masih bergeming. "Ayo, kita pulang!" pekik Aida. Kemudian berjalan keluar menuju ke tempat di mama mobilnya terparkir.

"Iya Bun, sebentar. Sabar!" sahut Wisnu.
Setelah berpamitan ia menyusul sang istri.
Bara mengekor di belakang sang ayah. Nurmala berlari memegang lengan kekar lelaki yang ia cintai itu.

"Mas, apa kamu juga akan membatalkan pernikahan kita?"

Bara bergeming menatap Nurmala lekat. Kemudian mengusap air mata wanita yang berdiri di hadapannya itu. Sang bunda tidak memberi kesempatan untuk ia bicara dengan wanitanya. Aida terus saja membunyikan klakson memberi isyarat agar putranya itu cepat masuk mobil.

Melepaskan genggaman Nurmala perlahan. "Aku pulang." Hanya itu yang terucap dari bibir Bara. Kemudian ia berlalu meninggalkan wanitanya.

Bara sudah masuk mobil, dan kini sudah berlalu menghilang dari jangkauan netra. Namun, Nurmala masih bergeming di teras.

"Nur, ayo masuk! Udara malam tidak baik untuk orang hamil." Hesti merangkul bahu Nurmala. Gadis itu menatap tajam sang ibu kemudian menepis tangan yang menempel pada bahunya.

"Aku tidak hamil, Bu!" sergahnya.

"Nur ...." Hesti kembali hendak menyentuh sang putri. Ia mencoba memberi kekuatan. Namun, Nurmala berlalu ke kamarnya. Wanita paruh baya itu hanya mampu terisak.

Hardi mendekat memeluk istrinya erat, mencoba menyalurkan ketenangan dan kekuatan. "Sabar Bu, kita biarkan Nurmala sendiri dulu." Hesti mengangguk dalam dekapan sang suami masih sambil terisak.

=====

Malam yang menegangkan telah berlalu. Nurmala berharap akan ada keajaiban perutnya mengempis dan pernikahannya tetap berlangsung. Namun, ketika terbangun dari tidur dan di dapati perutnya masih membesar seperti kemarin, ia kembali meneteskan air mata.

"Andai semua yang terjadi kemarin itu hanya mimpi," desisnya seraya menutup wajah dengan kedua tangan. "Arrrgh!" Mengacak rambut dengan gusar. Kemudian ia bangkit dari ranjang dan melampiaskan kekesalannya. Seluruh alat make up menjadi sasaran, ia sapu dengan tangan sehingga berserakan ke lantai sebagian ada yang pecah. Kegaduhan di kamar Nurmala mengundang perhatian sang ibu yang kebetulan berada di depan pintu hendak melihat keadaan sang putri.

"Kenapa harus aku, Tuhan! Kenapa?!" Mendongak menatap langit-langit kamar. Lagi, ia tersedu.
Terduduk di lantai di antara alat make upnya yang berserakan. Meraih botol parfume lalu ia lempar tepat ke arah kaca riasnya. Hancur berkeping sama seperti impiannya.

"Keluar kamu dari perut saya, keluar!" Nurmala terus memukuli perutnya dengan kepalan tangannya.

Hesti berlari tergopoh mendekat lalu mencekal tangan Nurmala. "Nur, sabar! Eling Nur, eling!" kemudian mendekap erat sang putri. Keduanya sama-sama terisak.

Baru saja Nurmala sedikit tenang. Kini terdengar kegaduhan dari teras rumahnya.

"Apa lagi itu, Bu?"

Next ➡

Hamil Anak Setan (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang