Bagian 05

21.7K 506 22
                                    

Hesti menggeleng pelan. "Entahlah?" Sambil beranjak dari duduk, kemudian membantu putrinya itu berdiri.

"Ayo, kita lihat apa yang terjadi?" Merangkul bahu Nurmala, dan berjalan beriringan menuju sumber kebisingan.

Dari jauh tampak sang ayah tengah berusaha menenangkan warga yang berkerumun di teras rumah.

Nurmala menghentikan langkahnya sejenak. Beradu pandang dengan sang ibu. Kembali berjalan mendekat, dan memegang bahu ayahnya. Hardi pun menoleh. "Sedang apa kau di sini?" bisiknya. "Seharusnya kau tak usah keluar."

"Memangnya ada apa, Yah?" balas Nurmala dengan nada berbisik pula.

"Keadaannya memburuk, warga ingin ...."

"Nah, itu dia Nurmala!" pekik salah satu warga, membuat ucapan Hardi terjeda.

"Jadi benar kau hamil, Nur?"

"Kalau benar kau hamil, maka tak seharusnya kau masih di sini."

"Ya, benar! Usir saja dia. Kita tak ingin desa kita ini terkena sial, bukan?"

Warga tak memberi kesempatan untuk gadis malang itu menjawab. Mereka memberondong dengan pertanyaan serta cacian.

Lukas RT setempat berbisik pada Hardi. Memberi saran agar Nurmala diungsikan demi kebaikannya. Dan diangguki oleh Hardi.

"Pokoknya kami tidak mau tahu, besok Nurmala sudah harus pergi dari desa kita!"

"Ya, benar!"

Lukas mencoba memberi pengertian pada warganya. Serta meyakinkan bahwa Nurmala esok pasti akan pergi dari desanya. Sontak membuat gadis itu menatap ayahnya dengan tatapan kecewa. Kemudian berlari ke kamarnya.

Sementara Haris dibantu Lukas membubarkan warga. Hardi dan Hesti menyusul putrinya.

"Nak, maafkan ayah! Ayah terpaksa menyetujui saran Pak RT itu semua demi kebaikanmu."

Nurmala kembali terisak dalam dekapan sang ibu. "Kenapa, Bu? Kenapa aku harus menerima hukuman atas apa yang tidak aku lakukan. Kenapa ..., kenapa Tuhan tidak adil padaku? Kenapa?!"

Semua terdiam, Hardi yang semula tegar pun kini menitihkan air mata. Begitu juga Haris ia bergeming di ambang pintu kamar Nurmala. Ia tak bisa berbuat sesuatu untuk adiknya.

Kemudian ia berlari ke kamarnya, dan mengobrak-abrik segala yang ada di sana. "Kakak macam apa aku ini? Hah! Adikku dalam masalah sementara aku tak bisa berbuat apa-apa?!" Menatap pantulan diri pada kaca. Napas memburu, gigi bergeletuk, emosi menguasai jiwa. Tangan terkepal sempurna kemudian melayang, dan mendarat pada bayangan dirinya. Kaca pun hancur berkeping. Darah segar mengucur pada tangan kanannya.

"Ya Allah, apa yang kamu lakukan, Ris?!" pekik sang ibu yang kebetulan melintas di depan kamarnya. Usai dari kamar Nurmala tadi.

Hesti berjalan tergopoh mendekati putranya itu. Kemudian memeriksa tangannya.

"Ayo, kemarilah. Ibu akan mengobati lukamu."

"Tidak perlu, Bu."

Hesti menatap putranya itu lekat.

"Apa yang kakak lakukan?" tanya Nurmala lirih. Tangannya membingkai wajah tampan sang kakak.

Kakak yang selama ini selalu melindungi dan menyayanginya sepenuh hati. Tapi kali ini pahlawannya itu bahkan tak bisa melindungi dirinya sendiri dari api amarah dan keputus asaan. Netra keduanya beradu.

"Kakak, aku tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja, percayalah!" Nurmala kemudian memeluk sang kakak, erat.
Sekuat tenaga menahan air matanya. "Sekarang ayo, biar aku obati lukamu, Kak." Haris mengangguk. Menatap wajah adiknya yang tengah serius membersihkan dan mengobati lukanya.

Hamil Anak Setan (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang