Bagian 08

17K 420 39
                                    

Mengibaskan tangan di depan hidung tak tahan dengan aroma busuk yang menyengat, Haris pun menjauh. Tanpa memeriksanya itu bangkai apa?
Kembali ke mobil sambil menahan mual.

"Gila, bau banget. Uweeek!" Masuk ke mobil dan langsung tancap gas. Pergi. Rasa penasaran masih mengendap dalam hatinya. "Bangkai apa ya, tadi?" gumamnya sambil terus melajukan mobilnya.

Setelah keliling ke penjuru kota hingga ke pelosok desa tak menemukan adiknya. Haris memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah usai memarkirkan mobilnya di garasi, kembali teringat seonggok bangkai yang ia temui di hutan.

"Kamu kenapa, Ris?" tanya Hesti yang ke luar rumah setelah mendengar putranya muntah-muntah.

Haris menggeleng, menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Enggak apa-apa Bu, cuma mual teringat bangkai yang tadi aku lihat di hutan."

"Bangkai?" tandas Hesti dahinya berkerut. Haris mengangguk, sambil memegangi perutnya yang masih terasa mual.

Hesti memegangi dadanya. Entah, kenapa setelah mendengar penuturan putranya tentang bangkai tersebut timbul perasaan khawatir. Seketika ia teringat Nurmala.

"Bagaimana Ris, apa kamu sudah mendapat kabar tentang adikmu?" sambung Hesti kemudian, setelah terdiam beberapa saat.

Haris menggeleng. "Belum Bu,"

"Nurmala ... kamu di mana, Nak?" Tangis Hesti kembali pecah.

"Sabar Bu, insyaa Allah Nurmala baik-baik saja." Mendekap dan mengusap bahu sang ibu berusaha menyalurkan ketenangan. Namun, Hesti semakin tak terkendali tatkala Hardi pulang dan ia juga tak mendapat titik terang.

"Kamu di mana Nur?" ucap Hesti di sela tangisnya.

"Kalau saja waktu itu Ayah tidak mengizinkan Nurmala pergi. Pasti keadaanya tidak seperti sekarang!" Emosi Hesti semakin tak terkontrol. Ia menyalahkan semua orang.

"Bu, tenang! Nur ...."

"Tenang-tenang terus, bagaimana ibu bisa tenang. Sementara adikmu entah di mana dan bagaimana keadaannya?" sela Hesti. Amarahnya meledak.

"Kita harus lapor polisi, Yah, Ris, sekarang!"

"Yasudah, Ayah sama Haris berangkat ke kantor polisi sekarang." Hardi lalu bergegas bersiap pergi.

"Ibu ikut!"

Haris memegang bahu Hesti. "Tapi Bu ...,"

"Gak ada tapi-tapian. Pokoknya ibu ikut," selanya. Lalu bergegas ke tempat mobilnya terparkir. Haris dan Hardi saling pandang.  "Cepetan Yah, Ris!" pekiknya. Kedua lelaki itu hanya bisa mengangguk pasrah.

Usai membuat laporan di kantor polisi, mereka pun pulang. Sepanjang perjalanan ketiganya tengok kanan kiri berharap bisa menemukan Nurmala. Namun, nihil gadis itu bak hilang ditelan bumi.

===

Sementara Bara sejak hilangnya Nurmala, ia terus saja mendapat teror berupa pesan yang berisi ancaman. Serta paksaan agar ia menikah dengan Renata.

Triiing

Untuk kesekian kali ponselnya berdering. Dengan rasa kesal Bara membuka dan membaca pesan masuk.

[Menikahlah dengan Renata! Jika kau menolak, nyawa kedua orang tuamu taruhannya.]

"Keterlaluan! Siapa orang ini?" umpatnya. Lalu mencoba menelepon. Namun, pemilik nomor tersebut menolak panggilan darinya.

"Kurangajar!" Bara naik pitam.

Lagi, ponselnya berdering. Notifikasi pesan masuk.

[Kau tak perlu repot-repot meneleponku! Cukup turuti saja perintahku, atau nyawa kedua orang tuamu taruhannya!]

Hamil Anak Setan (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang