Bagian 12

13.6K 354 10
                                    

Haris berlari tergopoh mendekat lalu berjongkok dan memegang kedua sisi bahu Hesti yang terguncang karena isakannya itu.

"Bu, kenapa? Ada apa?" Hesti masih terisak.

Tak lama Hardi turut mendekat dan langsung memeluk Hesti mencoba menyalurkan ketenangan. Masih dalam posisi berjongkok.

Melepas pelukan lalu mengusap sisa air mata yang membasahi pipi wanitanya. Kemudian tangan kekarnya menggengam jemari, dan menatap wajah Hesti lekat. "Katakan ada apa?"

"Nur, Nu-nur ...." Hesti tercekat.

"Ayo berdiri Bu," ucap Hardi seraya menuntun wanitanya untuk berdiri. Lalu merangkul dan mendudukkannya di atas sofa. "Ayo, duduklah! Pelan-pelan!" Sesuai titah lelakinya, Hesti pun duduk.

Hardi turut duduk di sampingnya sambil terus mengusap bahu Hesti.

"Ris, ambilkan air minum untuk ibumu!"

Haris mengangguk lalu bergegas ke dapur mengambilkan air minum untuk ibunya sesuai titah Hardi.

"Ini Bu, minumlah!" tutur Haris setelah kembali ke ruang tamu. Hesti meraih gelas dari tangan putranya itu lalu meminumnya.

"Pelan-pelan!" ucap Hardi sambil mengusap bahu wanitanya dengan lembut.

Usai minum Hesti mengatur napasnya. Lalu Haris meraih gelas yang ada di tangan ibunya, dan menaruh di atas meja.

"Sekarang coba katakan pelan-pelan, apa yang terjadi?" cecar Hardi seraya menatap wajah wanitanya itu lekat.

Hesti menggeleng. Lagi, air matanya mengalir deras. Menoleh ke arah Hardi dan Haris yang duduk mengapitnya secara bergantian.

"Se-semalam aku bermimpi ...." Lanjut terisak.

Dahi Haris mengkerut. "Bermimpi apa, Bu?"

Hesti mengusap air matanya dan melanjutkan ucapannya. "Mimpinya seperti nyata." Lagi, ia tersedu sambil menenggelamkan wajahnya di dada bidang lelakinya.

Hardi membingkai wajah wanitanya, mengusap ai mata yang terus mengalir deras. "Mimpi apa? Coba katakan yang jelas!" Menatap wajah sang istri lekat.

"Mimpi Nurmala pulang ...." Lagi, ia terisak dalam dekapan lelakinya.

"I-itu bukan mimpi Bu. Nurmala memang sudah pulang kemarin," jelas Hardi seraya mengusap pucuk kepala Hesti.

"Benar Bu, apa yang dikatakan Ayah. Nurmala memang sudah pulang," imbuh Haris meyakinkan ibunya.

Sontak Hesti langsung melepaskan diri dari pelukan lelakinya. Menatap Hardi dan Haris secara bergantian. "Beb-benarkah? Lalu kalau itu semua bukan mimpi, di mana Nurmala sekarang?"

Hardi dan Haris saling tatap satu sama lain.

Haris menjentikkan jarinya. "Pasti dia ke rumah Bara." Hardi mengangguk membenarkan pernyataan putranya. "Ya, kamu benar Ris."

"Kalau begitu aku susul Nurmala dulu, Yah, Bu." Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang tuanya, Haris langsung berlari ke garasi. Dan pergi melajukan mobil menyusul adiknya.

Sementara Hardi menenangkan Hesti yang bersikeras hendak turut menyusul Nurmala.

===

Karena tak kuasa menahan rasa penasaranya, Nurmala pergi mencari tahu apa yang terjadi pada Bara.

Tok tok tok

Sudah yang kesekian kalinya ia mengetuk pintu rumah kekasihnya itu namun, tak ada yang menyahut. Mengintip dari kaca jendela, tak ada tanda kehidupan di dalam.

"Kemana penghuninya? Apa sudah pindah?" Nurmala bermonolog sendiri di depan pintu.

Tak lama sebuah mobil sedan berwana silver datang memasuki halaman depan rumah Bara. Segera Nurmala berjalan ke ujung teras menunggu orang tersebut turun dan keluar dari mobil.

Berjalan sedikit terseok dengan bentuan tongkat di tangannya. Mendekat ke arah seseorang yang baru turun dari mobil tersebut.

Wanita yang baru turun dari mobil itu sedikit beringsut mundur dahinya berkerut. "Ka-kamu siapa, dan mau apa?"

Nurmala berajalan mendekat namun, wanita paruh baya di hadapannya terus beringsut mundur. "Tante, ini aku." Mengulurkan tangan mencoba menjelaskan. Tapi, wanita yang Nurmala panggil tante itu memberi isyarat  dengan tangannya agar jangan mendekat.

"Ma'af saya gak kenal sama kamu!" seru wanita itu lalu meninggalkan Nurmala di halaman.

"Tante ini aku, Nurmala!" Seketika wanita itu menghentikan langkahnya lalu menoleh perlahan ke arah Nurmala. Tatapan matanya menyelidik menelusuri setiap inci tubuh Nurmala dari ujung kepala hingga kaki.

Sedikit memiringkan kepalanya tampak belum percaya. "Benarkah?"

"Iya, ini saya Tan, Nurmala," jelasnya sambil berjalan terseok mendekat.

"Ka-kamu ..., bagaimana mungkin kamu masih hidup?"

"Itu tidak penting, Tan. Saya ke sini mau bertanya bagaimana kabar Bara dan di mana dia?"

"Dia baik-baik saja, dan tolong jangan ganggu hidupnya lagi! Dia sudah bahagia bersama keluarga kecilnya." Mendengar penjelasan dari wanita itu dahi Nurmala berkerut. Bingung.

"Eum, apa maksud Tante ..., dengan keluarga kecilnya Bara?"

"Saya sudah katakan, jangan ganggu putra saya lagi. Jadi, sebaiknya kamu pulang saja, Nur! Pergi dari sini!" ucap Aida sambil menunjuk arah pintu gerbang.

"Tante, izinkan aku bertemu dengan Bara sekali saja!" Nurmala memohon. Namun, Aida tak peduli ia masuk ke rumah meninggalkan Nurmala di teras.

Merasa tak menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang setia bergelayut dalam benaknya, Nurmala memutuskan untuk pergi ke rumah sahabatnya. Renata.

Dalam perjalanan ia berharap ketika sampai sana nanti dia akan mendapatkan jawaban.

Ketika sampai di depan gerbang rumah Renata. Nurmala termangu di sana. Netranya mengamati ke sekeliling rumah sahabatnya itu. Masih sama seperti setahun lalu ketika ia menginap di sini. Tak banyak yang berubah. Air matanya pun tak terbendung lagi.

Menarik napas panjang lalu mengusap sisa air matanya. Lantas melangkahkan kakinya memasuki halaman depan rumah Renata. Sampai di sana ia kembali tertegun. Lagi, ia mendengkus dan melanjutkan langkahnya ke teras.

Mengetuk pintu, mengucap salam, sampai beberapa kali. Namun, belum ada yang menyahut dari dalam. Dan ketika sekali lagi ia hendak mengetuk, knop pintunya bergerak. Lantas Nurmala mengurungkan niatnya untuk mengetuk dan menunggu pintunya dibuka.

Mematung, dahinya berkerut. Bingung. Saat melihat siapa yang membuka pintu rumah sahabatnya itu.

Begitupun seseorang yang berdiri di hadapannya. Terbengong tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Siapa, Sayang?" pekikan seseorang dari arah dalam rumah membuat Nurmala semakin terkejut sehingga tongkatnya jatuh tergeletak ke lantai.

"Sayang?" desis Nurmala. Kaca-kaca mulai menggenangi mata beriris cokelat itu.

Next ➡

Hamil Anak Setan (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang