Saya pernah sehancur itu, merasa tidak punya tempat untuk pulang, bukan soal fisiknya tapi justru keberadaan rumah itu sendiri seolah tak menjamin saya benar-benar diinginkan disana.
Pernah juga merasa tidak ada manusia yang bisa menerima kehadiran saya karena memang menginginkan saya berada disisinya, bukan karena alasan lain.
Saya juga pernah memendam emosi yang meluap-luap, bisa saja saya lepaskan saat itu juga, tapi kenyataan kembali menampar saya dengan kerasnya, untuk apa? Siapa yang peduli dengan apa yang sudah kamu lalui? Semesta bertanya seraya membuka mataku lebar-lebar, hingga saya jatuh pada kesimpulan dimana, sakitmu hanya dirimu sendirilah yang paham, jangan paksa orang lain untuk memahaminya, mereka tidak berhak menjadikan rasa kasihan sebagai embel-embel peduli denganmu. Kamu, saya, atau siapapun pantas hidup tanpa merasa dikasihani oleh tatapan iba dari orang lain. Karena memang semenyebalkan itu rasanya dicap lemah dan tukang mengeluh oleh orang lain, padahal yang saya alami belum tentu juga bisa dia lewati dengan tanpa menyalahkan takdir setiap detiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTULA
PoetryKalau kamu gak suka baca rentetan kata-kata panjang, coba baca ini yuk! Siapa tahu hatimu lega.