Prolog

3.3K 308 10
                                    

Aku tersenyum saat keluar kamar sambil memanggil ibuku yang sedang menyapu. "Ma,"

"Mau pergi sekarang?" Tanyanya seraya melihat aku yang sudah rapih.

"Iya," jawabku dengan tersenyum lebar. Aku mendekati untuk memeluknya. Usapan tangan di kepalaku begitu membuatku nyaman. "Aku pergi dulu."

"Hati-hati di jalan." Terlihat dari wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. Aku hanya mengangguk. Aku berpamitan setelahnya menuju ke sebuah restoran. Dimana aku dan seseorang janji untuk bertemu.

Sosok yang selama ini kurindukan berdiri menyambutku. Kami sama-sama tersenyum. Aku mengunyah makananku dengan riang. Ini pertama kalinya aku dan Ayah bertemu setelah sekian lama. Ayah mengajakku ke restoran Korea yang memang aku sukai sejak dulu. Dia memotong daging lalu memanggangnya. Ya, Ayah melayaniku dengan sangat baik, tiba-tiba terdengar suara ponsel dari saku jaketnya. Ia melihat siapa yang menelepon lalu memberikannya padaku. Aku menaruh sumpitku. Untuk mengambil ponsel tersebut saat Ayah menyerahkannya padaku. Kami melakukan video call. Aku memegang ponsel itu di depanku. Kami saling menatap satu sama lain. Ternyata dia Nenekku.

"Assalamualaikum, Lidya," salamnya dan menyebutkan namaku.

"Wa'alaikumsalam,"

"Wah, kamu udah besar ya."

"Iya," jawabku singkat. Raut wajahku biasa saja. Sudah lama kami tidak bertemu dan kami tidak terlalu dekat.

"Gimana kabarmu, sayang?"

"Baik,"

Terdengar helaan napas darinya. "Kamu tau kan Ayah dan Ibumu sudah berpisah?"

"Ya," lagi-lagi aku hanya menjawab seperti itu. Tidak ada yang perlu aku ucapan lagi. Aku sudah tahu semuanya.

Nenekku mengangguk dan tersenyum tipis. "Nenek tau kalau ini semua menyakitimu. Tapi.. Ini semua keinginan mereka. Baiklah, nanti kita ketemu ya." Aku hanya menganggukkan kepala. "Sampai jumpa," ucap Nenekku.

"Ya." Sambungan telepon kami terputus aku menyerahkan ponselnya kembali pada Ayah.

"Dia sudah melahirkan," ucapnya tiba-tiba. Aku diam terpaku saat mendengarnya.

"Melahirkan?"

"Ya," jawab Ayahku tanpa rasa dosa. Hatiku mencelos. Dia itu adalah istri baru Ayah. Seorang wanita yang baru beberapa bulan di nikahinya. Setelah dia dan ibuku bercerai.

"Laki-laki?" tanyaku datar.

"Perempuan," Ayahku sambil tersenyum.

"Apa Mama sudah tau?" tanyaku. Menutupi perasaanku yang hancur.

"Eum," Ayah mengangguk dengan ragu.

"Benar sudah tau?" ulangku.

"Ya, dia sudah tahu. Dia menyuruhku untuk memberitahumu sendiri secara langsung." Ayah tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Terbalik dengan perasaanku yang kini seperti tidak menginjak bumi. Aku menundukkan kepalaku seraya mengambil sumpit untuk melanjutkan makan. Daging panggang yang berada di dalam mulutku terasa hambar.

Saat pulang Ayah mengambil sesuatu dari dalam mobil. Sebuah paper bag berisi jaket. Ia memberikannya padaku. Dengan setengah hati aku meraihnya. Ayah masuk ke mobil hendak pergi. Dia tidak mengantarku untuk pulang. Aku menatap sebuah kursi khusus bayi di kursi belakang dengan nanar. Perih dan napasku mulai terasa sesak.

Aku melangkahkan kakiku dengan lemas menuju halte bus. Saat bus tiba, aku segera naik. Aku duduk di dekat jendela seraya memandangi jalanan. Pikiranku berkecamuk. Di usiaku 15 tahun, orang tuaku sudah bercerai sejak beberapa  bulan yang lalu. Aku tinggal bersama Ibuku di sebuah rumah yang kecil. Aku berpikir selama ini, aku tidak bahagia. Bibirku gemetar menahan tangis. Aku malu jika semua orang di dalam bus mendengar tangisanku. Kini hidupku tidak semudah dulu. Saat orang tuaku bersama.

Kadang aku berpikir, seberapa jauh aku harus berlari. Untuk menjadi lebih bahagia?
Seberapa jauh aku harus terbang. Untuk bisa tersenyum seperti dulu?

Turun dari bus yang pertama aku ingin lakukan adalah memeluk ibuku. Menumpahkan semua air mataku hanya di depannya. Aku berlari menuju rumahku. Cukup terkejut saat melihat ibuku sedang menungguku di depan rumah. Dia berdiri dengan tersenyum tipis. Seolah berkata semua akan baik-baik saja. Ibuku mungkin sudah tahu perasaanku setelah bertemu Ayah. Terlebih mengetahui kabar bahwa aku mempunyai adik dari ibu lain. Mataku berkaca-kaca lalu berlari menubruknya. Aku memeluknya erat.

"Mama.." ucapku terisak. Ibuku hanya mengusap punggungku berusaha menenangkan. "Aku sayang Mama.."

"Mama tau, sayang."

Aku meninggalkan paper bag pemberian Ayah di bus. Namun seseorang mengejarku dan mengembalikan paper bag tersebut. Mungkin inilah awalku untuk berbesar hati. Aku dan ibuku tertawa saat diriku mencoba jaket pemberian Ayah. Yang ternyata kekecilan. Kini aku mulai menenangkan perasaanku bahwa semua baik-baik saja. Dan menerima semuanya. Melangkah, tanpa di dampingi seorang Ayah lagi. Aku akan hidup berdua saja dengan Ibuku. Tekadku hanya ingin membahagiakannya.

Awal dari cerita ini terinspirasi dari MV nya Paul Kim - Big Heart

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awal dari cerita ini terinspirasi dari MV nya Paul Kim - Big Heart. Aku juga ambil dari Judul yg sama ya. Kalian bisa liat MV nya yg bikin aku mewek... Huhuhu

Cerita baru ini semoga kalian sukaaa ya. Harap bersabar untuk part selanjutnya..  Hihihi 🤭🤭

Ada yg nungguin aku ga ya??? 
🙈🙈

Thankyuuu 😘😘😘

Big Heart (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang