Part 4

1.3K 236 13
                                    

Bu Mirna mendekati ranjang Lidya, sontak tangisannya pecah. Putrinya tidak menyapa atau bicara. Hanya diam dengan pandangan kosong langit-langit kamar dengan air mata yang sesekali mengalir dari sudut matanya. Bu Mirna bicara pun tidak di gubris olehnya.

"Lidya, mana yang sakit, sayang? Kamu kenapa diam aja?" isaknya. "Lidya?" memanggil nama putrinya kembali.

Kaendra yang berdiri tidak jauh dari mereka dengan menatap perihatin. Ternyata Lidya di rawat inap dengan pasien lainnya. Bu Mirna terus saja berusaha menanyakan keadaan Lidya. Agar putrinya menanggapi namun hasilnya nihil, seolah bibir Lidya tertutup rapat. Saat Dokter masuk ingin menjelaskan kondisi Lidya saat ini.

"Keluarga Lidya?" tanya Dokter tersebut.

"Ya, Dok. Gimana keadaan Lidya?" Kaendra yang menjawabnya.

"Tangannya harus di gif."

"Dan perban di kepalanya?" tanya Kaendra khawatir.

"Hanya luka ringan, tidak serius. Setelah saya periksa hasil scan nya."

"Tapi Dok, sedari tadi Lidya hanya diam saja. Tidak menanggapi ibunya."

"Sepertinya Lidya masih syok dengan kecelakan tadi. Saya dengar kecelakaan itu beberapa orang menjadi korban. Lidya butuh ketenangan, setelah apa yang di alaminya."

"Saya minta Lidya untuk di pindahkan di kelas VIP." Kaendra tidak mau Lidya semakin tertekan dengan lingkungan yang ramai.

"Baiklah, Lidya akan di pindahkan sesuai permintaan keluarga."

Lidya segera di pindahkan sesuai keinginan Kaendra. Dan gadis itu masih tetap diam. Kaendra hanya bisa menatap dengan pandangan yang sulit di artikan. Apa karena masalah surat itu? Kini Kaendra menyesal telah memberitahunya. Bu Mirna tidur di sofa. Lidya pun tertidur, sejak mereka datang tidak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Pria itu memberanikan diri untuk duduk di kursi dekat ranjang Lidya.

"Maaf kan aku," lirihnya. "Kalau aja aku nggak ngasih tau surat itu. Mungkin kamu akan baik-baik aja. Aku hanya ingin menyampaikan amanat Nadia. Maafkan aku," gumamnya. Ia memandangi wajah Lidya yang pucat pasi. Pelupuk Lidya bergerak dan isakannya terdengar. "Lidya?" ucapnya pelan.

Gadis itu membuka matanya lalu melihat ke arah Kaendra. "Dia memelukku," ucapnya dengan bibir gemetar. "Dia nolongin aku," sambungnya terbata-bata.

"Siapa?" tanya Kaendra penasaran.

"Nadia," lirihnya. "Dia nggak mau aku mati.."

"Tenangin diri kamu dulu ya." Kaendra buru-buru menuangkan air ke gelas. Ia pun membantu Lidya bangun. "Minum dulu," Dengan masih terisak Lidya meminumnya sedikit.

"Nadia memelukku waktu aku jatuh sebelum aku pingsan. Aku ngerasa itu dia, nolongin aku.. Hikss.. Hikss.. Nadia."

"Dia nggak mau kamu terluka lebih parah lagi."

"Aku ngerasa kalau aku jahat banget sama dia. Nggak mau maafin dia, tapi dia nolongin aku walau pun Nadia sekarang jauh. Hikss.. Hikss.." air mata Lidya tidak henti-hentinya mengalir.

"Nadia mau kamu selamat karena ada seseorang yang harus kamu jaga," ucap Kaendra seraya melihat Bu Mirna yang tertidur di sofa. Lidya menengok, ibunya berada di sana. Di telinganya mendengar suara ibunya namun ia masih syok sehingga tidak menggubris nya. Dan masih percaya tidak percaya Nadia menolongnya. Kini Lidya sudah sadar. Dan merasa bersalah telah berlaku egois.

"Mama," gumamnya.

"Sekarang kamu istrihat dulu," ucap Kaendra lembut. "Mamamu sangat mengkhawatirkanmu." Lidya memandanginya. "Pasti kamu heran aku ada di sini kan? Besok akan aku jelas kan. Sekarang tidur lah."

Big Heart (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang