Part 5

1.3K 241 12
                                    

"Sebaiknya kamu pulang," ucap Lidya yang tidak enak hati jika pria itu selalu menjaganya. Kaendra menoleh. "Kamu pasti punya kerjaan kan?" tanyanya.

Pria itu tersenyum, "memang, kita bisa pulang bareng. Aku udah minta rujukan untuk pindah ke rumah sakit di Jakarta." Dahi Lidya mengerut. Kaendra segera melanjutkan ucapannya. "Mamamu juga udah setuju. Lagi pula kasian Mamamu kan, kalau kamu di rawat di sini."

Lidya menghela napas. "Ya, bener juga."

"Sore ini kita pulang," ucap Kaendra dan Lidya mengangguk.

"Mama kemana?"

"Lagi keluar, ada yang mau di beli katanya." Kaendra sesekali meliriknya meskipun duduk di sofa. Pria itu seakan enggan mengalihkan pandangannya pada Lidya. Entah kenapa matanya selalu tertuju pada Lidya, sahabat adik tirinya.

Lidya sedang melamunkan nasibnya kini. Apa yang akan dilakukannya jika keadaannya seperti ini. Ia tidak bisa bekerja, dan bagaimana nantinya. Menjadi guru adalah pekerjaannya. Akan tetapi jika tangan kanannya terluka? Ia memandangi tangannya dengan nanar.

Pintu terbuka, Lidya menengok. Bu Mirna masuk seraya membawa tas Lidya yang dipakai sewaktu kecelakaan. Ia di panggil suster saat membeli minuman. "Ini tasmu?"

"Iya, Ma." Bu Mirna menyerahkannya.

"Periksa dulu apa ada yang hilang atau nggak."

"Iya, Ma." Lidya menatap tas tersebut di pangkuannya. Dengan tangan kiri ia membuka ritsleting. Dan memeriksa dompet dan sebagainya. Tidak sengaja dompetnya terbuka, ada selembar foto dirinya bersama Nadia. Ia menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Matanya menjadi berkaca-kaca, di usapnya lembut tepat di wajah Nadia. "Terimakasih udah ngasih aku kesempatan," bisik hati kecilnya.

"Kita pulang sore ini. Mama udah minta rujukan." Bu Mirna menaruh minuman botol untuknya dan Kaendra di meja.

"Iya, Ma.." Lidya mengangkat kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Di rawat disini repot juga jauh dari rumah." Lidya mengerti ibunya harus meninggalkan ladang rezeki. Jika di rawat di sana, Bu Mirna bisa menyelesaikan pesanan orang. Terkadang ada yang datang untuk di jahitkan pakaian. Bu Mirna mempunyai keahlian selain memasak yaitu menjahit. Perjuangannya sebagai ibu tunggal mengharuskannya untuk kreatif sejak bercerai. Itulah kenapa setiap wanita harus pintar dan mempunyai keahlian. Agar sewaktu-waktu bercerai tidak bingung harus bagaimana dalam urusan rezeki. Lidya sungguh sangat bangga pada sang ibu.

"Oia, Ma.. Udah di urus biaya rumah sakitnya?" Ia memiliki BPJS.

Bu Mirna dan Kaendra beradu pandang. "Oh, itu udah," ucap Bu Mirna serba salah.

"Pakai BPJS kan?" tanya Lidya. Ia tidak mau membebankan biaya rumah sakit pada ibunya. Apa lagi tabungannya mungkin tidak cukup untuk kelas VIP. Kaendra menggelengkan kepalanya pelan agar Bu Mirna tidak bicara jujur. "Tapi aku di rawat di kamar ini, rasanya nggak bisa pakai BPJS deh," pikirnya. "Jadi?"

"Kaendra yang udah bayarin semuanya. Baru Mama mau urus,"

"Lho kok," Lidya bingung.

"Kalau di rawat di VIP nggak bisa pakai BPJS. Jadi.. " Bu Mirna ragu untuk melanjutkannya.

"Ini permintaan aku kan, jadi aku yang nanggung semuanya." Kaendra berusaha untuk menyakinkan bahwa itu bukanlah masalah besar. Tapi Lidya tidak mau berhutang budi.

"Aku akan menggantinya," ucap Lidya.

"Tapi itu nggak perlu,"

"Aku tetap menggantinya," Lidya kekeh pada ucapannya. Bu Mirna menganggukkan kepalanya agar Kaendra setuju. Ia tahu jika putrinya itu keras kepala.

Big Heart (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang