Part 8

1.1K 214 5
                                    

Menunggu adalah hal yang membosankan. Lidya hanya berdiam diri di ruang kerja Kaendra. Andai saja ia tidak butuh pekerjaan mungkin tidak akan melakukannya. Gadis itu akan berpikir ulang. Apa ia bisa bekerja selain menjadi guru? Pengalamannya hanya sebagai guru saja. Tapi ia membutuhkan uang. Terkadang hidup itu tidak terduga dan melawan arus.

Kaendra merapihkan file yang telah diperiksanya. Ia melirik jam tangan sudah waktunya jam makan siang. Lidya sudah terlihat bosan, ia tahu itu. "Kita makan siang dulu," ucapnya.

"Iya," Lidya langsung berdiri.

Ponsel Kaendra berdering. "Hallo, ada apa?"

"Gue udah ada di depan apartemen lo."

"Tapi gue mau makan siang dulu."

"Lo mau gue berdiri di sini sampai ada yang ngenalin gue. Terus di upload di akun gosip gitu?" tanya Bima kesal. "Cepet kesini atau gue pulang!" ancamnya.

Kaendra berdecak, "iya gue langsung kesitu." Ia menutup teleponnya. "Lidya, kita nggak bisa makan di luar. Jadi kita beli makannya di apartemenku."

"Iya, terserah aja."

Mereka keluar dari ruangan, menjadi pusat perhatian para pegawai. Sejak pagi dan waktu makan siang baru keluar. Mereka bertanya-tanya apa yang dua orang itu lakukan di sana sampai begitu lama sekali. Meskipun pegawainya laki-laki tetap saja pasti ada yang menjadi tukang gosip. Mereka mengenal pemimpin mereka itu tertutup. Tidak pernah membawa kekasih. Justru mereka menganggap ada sesuatu kenapa pegawai di kantornya hanya untuk laki-laki. Pernah berpikiran jika Kaendra adalah seorang gay.

Kaendra membeli makanan di jalan sebelum ke apartemennya. Lidya sebenarnya enggan ikut kesana. Walau bagaimanapun ia belum terlalu mengenal pria di sebelahnya ini. Apalagi berkunjung ke apartemennya. Ada rasa was-was menyergapnya. Apa ia menolak saja? Atau beralasan lain.

Pria itu masuk ke mobil membawa paper bag berisi makanan. Ia membeli sushi. Kaenndra merasa curiga dengan tingkah Lidya. "Aku udah telepon Mama, dan bilang kalau kamu mau ke apartemenku. Dan aku juga udah ngasih alamatnya."

Lidya tercengang. Kenapa Kaendra bisa mengetahui kekhawatirannya. Apa ia mempunyai kelebihan seperti indigo? Gadis itu berdehem. "Oh,"

Suasana di mobil begitu hening. Tidak ada suara radio atau mp3. Lidya menjadi mengantuk. Ia sudah bisa rileks. Sesekali ia melihat Kaendra dari sudut matanya. Tanpa di sadari bibirnya tersenyum tipis sangat tipis hingga pria yang di sebelahnya tidak tahu. Lidya merasa jika Kaendra benar-benar melindunginya.

Sesampainya di apartemen Kaendra. Ada seseorang yang berdiri menunggu di depan apartemen. Kaendra tertawa kecil saat melihat Bima mengenakan pakaian seperti penjahat saja. Sweater, topi dan masker.

"Kenapa lama banget sih!" omelnya. "Kaki gue sampe pegel ini! Cepet buka pintunya!" perintah Bima. Kaendra membuka pintu, Bima berlari ke dalam. Pria itu menggelengkan kepalanya.

"Masuklah," ucapnya. Lidya mengangguk. Ia kagum dengan isi apartemen yang bagus. Memang tidak luas. Tapi bersih dan rapih. Lagi-lagi di dominasi dengan cat warna abu-abu. Bima melepaskan topi dan maskernya. Ia membanting tubuhnya ke sofa.

"Sialan!" umpatnya kasar. Lidya sampai terbengong-bengong mendengarnya. Kaendra menatap tajam. Bima menutup mulutnya saat sadar jika disana bukan hanya ada Kaendra melainkan wanita. "Maaf," ucapnya.

Kaendra menaruh paper bag di atas meja. "Kamu makan dulu,"

"Kok lo tau sih gue belom makan," ucap Bima senang.

Kaendra memandanginya dengan tatapan mencemooh. "Emangnya istri lo nggak ngasih makan?"

Tangan Bima terhenti saat hendak membuka paper bag. Pria itu tertegun lalu menghela napas. "Lo emang pinter buat suasana hati gue ancur," sindirnya. Ia tidak jadi makan.

Big Heart (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang