Kaendra memandangi Lidya. Sedangkan gadis itu hanya diam. Kakak Nadia menepati janjinya memilih tempat yang banyak pengunjungnya. Mereka duduk di meja paling sudut. Kaendra tidak ingin pembicaraannya terganggu. Mereka sudah memesan minuman. Pria itu menawarkan untuk makan namun Lidya menolak. Mana bisa ia makan dengan orang asing. Pasti tidak akan nyaman. Pelayan datang membawakan pesanan mereka.
"Terimakasih," ucap Kaendra pada pelayan. Ia memesan kopi begitu juga Lidya. "Baiklah, kita langsung ke pembicaraan."
"Ya," gumam Lidya.
"Aku, kakak tirinya Nadia." Kaendra memicingkan matanya melihat ekspresi Lidya yang terkejut. "Itulah kenapa Nadia nggak pernah cerita tentangku pada siapa pun." Ia mulai santai. "Aku dan Nadia nggak akrab layaknya hubungan seorang kakak dan adik. Aku memakluminya karena memang ada sesuatu. Aku anggap itu wajar."
"Kamu membencinya?" celetuk Lidya.
"Nggak sedikit pun. Aku sadar diri kalau memang pihakku yang salah." Tatapan Kaendra meredup. "Karena itulah aku ingin menebus semua kesalahanku."
"Maksudnya?" Lidya menunjukan ekspresi wajah tidak mengerti.
Kaendra tidak ingin membahas masalah pribadinya saat ini. "Nadia memberikanku sebuah amanat."
"Apa itu?"
Kaendra menghela napas, "dia menuliskan semuanya dalam sebuah surat. Dan salah satu permintaannya adalah aku harus menjaga sahabat satu-satunya yang dia miliki."
Lidya tertegun, perasaan sedih menderanya. "Setelah kamu pergi pun masih memikirkanku, Nadia?" ucapnya dalam hati.
"Karena itulah aku ingin bertemu denganmu."
Gadis itu mengusap sudut matanya. "Ini konyol, aku bukan bayi yang harus di jaga. Nadia tau akan itu kan? Mana mungkin dia memintamu untuk menjagaku."
Kaendra mengambil sesuatu dari saku jasnya. Ia menaruh di atas meja. "Bacalah,"
Dengan ragu Lidya mengambil dan membuka kertas yang dilipat tersebut. Saat pertama kali melihatnya ia hafal sekali itu tulisan tangan Nadia. Lidya mulai membaca satu demi satu kalimat yang tertera disana. Seketika isakannya terdengar. Dirinya merasa hancur mengetahui isi surat tersebut. Sebuah rahasia yang selama ini Nadia tutupi. Jika ia menyukai Jeno, kekasih Lidya dulu. Diam-diam mereka berhubungan tanpa Lidya tahu. Jeno benar-benar bajingan. Dan kini Nadia ingin menebus kesalahannya itu. Namun ia sudah tidak ada di dunia. Sehingga Nadia meminta bantuan pada kakak tirinya.
Lidya tidak melanjutkan membacanya. Napasnya terasa sesak. "Kamu nggak perlu menuruti permintaan Nadia." Matanya memerah dan air mata masih tergenang di pelupuk matanya. Dirinya butuh waktu untuk menerima semua kenyataan yang ada. "Aku kira nggak ada yang perlu di bicarakan lagi." Lidya berdiri dan pergi begitu saja. Meninggalkan surat Nadia yang tergeletak di meja. Lidya tidak sanggup lagi untuk meneruskannya atau mengetahui isi surat tersebut. Hatinya terlalu sakit untuk menerimanya.
Kaendra tidak menyusulnya atau menjelaskan. Ia sadari bukan waktunya yang tepat untuk melakukan itu semua. Lidya pasti syok menerima kenyataan jika Nadia dan mantan kekasihnya pernah bermain di belakangnya. Kecewa, sakit hati dan terluka. Kaendra tidak bermaksud untuk membuka aib seseorang namun itulah pengakuan Nadia dalam surat yang ditulisnya. Bukan rekayasa dirinya. Pria itu mengambil cangkir kopi laku menyesapnya sedikit.
***
Lidya pulang dalam keadaan basah kuyup. Ia tidak memperdulikan hujan yang sedang turun. Justru menerjangnya untuk menutupi air matanya. Sepanjang jalan dirinya menangis. Kenapa orang yang ia sayangi justru membalas dengan pengkhianatan. Lidya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Jika Nadia mengkhianatinya begitu pun Jeno. Tanpa rasa berdosa mereka berpura-pura baik di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Big Heart (GOOGLE PLAY BOOK)
عاطفيةHanya ada di Google Play Book & Karyakarsa. Meski pun kedua orang tuanya harus berpisah. Ia berbesar hati untuk menerima takdir yang Tuhan berikan. Ia berjuang bersama sang ibu agar menjalani kehidupan lebih baik lagi. Seorang wanita tangguh yang a...