2: Sebelum Ada Dia

133 7 0
                                    


Hujan turun dengan lebatnya, untung saja Opel telah menaiki bus kota yang sejak tadi dia tunggu. Tetes airnya semula membasahi jendela bus dengan titik-titik air hujan. Dari balik jendela bus, Opel terus mengamati hingga tetesan itu kian deras. Padahal tadi pagi langit begitu cerah, pun matahari tak segan untuk menyinari tetapi kini ketika siang tiba hujan disertai awan mendung menggantikan kedudukan matahari di langit.

Opel terus mengamati pergerakan awan. Awan-awan berwarna abu yang seolah berjalan mengikuti dirinya padahal dirinyalah yang sedang berpindah tempat dalam waktu per detik.

Padangannya mengabur sedang benaknya mencuatkan kenangan yang ingin dia hapus dalam hidupnya. Kenangan ketika hujan turun. Lagi-lagi ingatan itu sering mendera ketika hujan menyentuh permukaan tanah. Membenturkan ingatan lampau.

"Aku masih di fakultas, mau pulang kejebak ujan." Opel menjawab pertanyaan dari suara lelaki yang amat dikenalnya. Siapa lagi kalau bukan Nandu.

"Tunggu di situ," ingin Opel mengelak karena merasa merepotkan Nandu tetapi lelaki itu takkan mampu dibantah jadi saja Opel mengiyakan.

Entah tadi Nandu sedang ada di mana namun hanya butuh 5 menit Nandu sudah memarkirkan mobilnya di fakultas Opel. Membuka pintu mobil, lalu membentangkan lipatan payung. Perlahan berjalan menemui Opel bersama beberapa teman pun orang asing yang turut sedang menunggu hujan mereda.

"Duluan yaa kalian." Pamit Opel pada beberapa temannya yang memasang raut melting atas perlakuan Nandu pada kekasihnya.

"Gentle banget dong pacarnya."

"Ihh gue mau punya cowok kayak Nandu."

"Gue nggak nyangka adegan di film-film bakalan ada."

"Cowok datengin cewek sambil bawa payung terus ngelindungi gitu dari basahnya air hujan. Aaaa... gue nggak kuat liatnya."

"Tolong, akhiri kejombloan gueee."

Berisik teman-temannya mampu terdengar telinga Opel, sedang Opel hanya menanggapi dengan senyuman. Lelaki yang sedang menaungi dirinya dengan payung yang dibawa pun menggeser tubuhnya agar Opel tidak kebasahan sedikitpun—hanya memandang sambil merangkul pundak kecil Opel.

"Ujan gini harusnya bawa jaket." Entah ini teguran Nandu atau apalah. "Emang nggak dingin?"

"Enggak, kan lagi dirangkul kamu."

"Bisa aja yaaa modusnya."

"Lho, kok aku modus? Kamu kaliiii yang modusin aku."

"Emang."

Dan begitu sampai di depan pintu mobil Nandu, dengan sigap Nandu membukanya pun dengan tetap memayungi Opel tanpa peduli kalau dirinya kebasahan.

"Pake cepetan." Nandu menyodorkan jaket yang semula tersampir di jok mobilnya ke Opel yang menepuk-nepuk tubuhnya yang terkena sedikit cipratan air hujan.

"Temen-temen aku pada gemes sama kamu tau, liat tuh." Opel memberitahu, sedang Nandu mulai menstarter mobilnya dan melaju meninggalkan parkiran fakultas.

"Kok kamu seneng aku dipuji gitu?"

"Emang harusnya aku gimana?"

"Harusnya cemburu lah."

"Uuuu tayang... yang pengen aku cemburuin."

"Orang lain mah ceweknya cemburuan, lah kamu boro-boro, yang. Kan aku juga pengen gitu."

Bermain RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang