#NoCopas
#StopPlagiat!Happy Reading...
***
"Tidak semua bahagia tercipta dengan sederhana. Ada beberapa yang perlu usaha untuk meraihnya."
-Agisha Maheswari-
***
Hal paling menyakitkan adalah ketika kita menggantungkan harapan terlalu tinggi namun pada akhirnya harapan itu tak pernah tergapai atau hanya menjadi sebuah angan. Dan rasa sakitnya bisa berkali-kali lipat saat melibatkan hati di dalamnya. Ambil Agisha sebagai contohnya. Yang harus merelakan hatinya patah oleh seseorang yang justru menjadi sumber dari harapannya.
Ketika membuka mata di pagi pertamanya setelah menikah, bukan perasaan bahagia yang menyambutnya. Tidak ada perempuan manapun yang akan senang saat mendapati sisi tempat tidurnya kosong dan menemukan laki-laki yang berstatus suaminya memilih terlelap di sebuah sofa. Dan saat itulah Agisha sadar bahwa apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi ataupun halusinasi seperti yang diinginkannya sebelum menutup mata setelah kelelahan menangis.
"Bereskan semua barang-barang kamu. Setelah ini kita akan pindah ke apartemen saya," kata Rafan yang baru keluar dari kamar mandi dengan pakaian casual lengkap.
Dari balik cermin rias, Agisha menatap Rafan yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Raut laki-laki itu datar dan masih setenang biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Seperti tidak melakukan kesalahan karena menyakitinya.
Gerakan tangan Agisha yang sedang menyisir rambutnya yang lembab sehabis mandi terhenti. "Kita tinggal di apartemen Mas?"
Rafan mengangguk sebelum berlalu menuju lemari dan mulai memasukan beberapa pakaian miliknya ke dalam koper. "Kita nggak mungkin tinggal di rumah Mama atau rumah kamu setelah menikah. Apalagi dengan status hubungan kita yang seperti ini."
Agisha tersenyum pahit. Haruskah Rafan terus mengingatkan dan menjelaskan tentang itu lagi? Karena sungguh rasanya Agisha ingin melupakan peristiwa semalam walaupun sulit.
"Hubungan seperti apa maksud Mas?" Agisha pura-pura tak mengerti.
Rafan spontan beralih menatapnya. Dengan tajam dan mengintimidasi. "Saya yakin kamu tidak sedang terkena amnesia. Umur kamu juga terlalu muda untuk mengidap pikun," katanya sinis. "Jadi, jangan bicara omong kosong disaat kita sudah memiliki kesepakatan."
Agisha yakin belum menyetujui apapun keinginan Rafan. "Mas, aku—"
"Kamu juga tidak perlu memanggil saya seperti itu." potong Rafan.
"Kenapa?" tanyanya lemah. "Panggilan itu aku khususkan karena menghormati kamu sebagai suamiku. Kamu nggak punya hak merubahnya."
Rafan berdecak. "Agisha, ayolah... Kamu masih mau menganggap dan menghormati saya sebagai suami setelah omongan kita semalam? Tolong jangan naif."
Agisha terdiam. Itu pukulan telak. Alih-alih menjawab ia justru kembali merasakan sayatan di balik dadanya.
"Kenapa diam? Benarkan apa yang saya bilang?" Rafan menyugar rambutnya. "Jadi, daripada kamu menganggap semuanya baik-baik saja, kenapa tidak kamu muntahkan saja kemarahan kamu sekarang. Saya siap menerimanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days
RomancePernahkah kamu mengejar seseorang yang tak pernah sekalipun melihatmu? Tak mempedulikanmu? Atau mengabaikanmu hanya karena tak cukup memiliki perasaan yang sama? Kalau belum, Agisha akan menunjukkannya. Bagaimana rasanya berjuang sepihak untuk sebua...