1. Rafandhika Rahagi

484 115 5
                                        

#NoCopas
#StopPlagiat!

Happy Reading....

***

Suasana rumah sakit di malam hari tampak lebih tenang dibandingkan pada jam siang. Semua pasien dan pihak keluarga yang menjaga sudah pasti memilih berada di ruang rawat masing-masing untuk beristirahat. Hanya beberapa dokter atau perawat yang bertugas jaga malam yang sesekali terlihat di koridor rumah sakit. Namun ketenangan itu seakan tidak dirasakan oleh Rafan. Kakinya ia ayun lebih cepat menapaki ubin di lorong-lorong rumah sakit. Rasa lelah sehabis memeriksa pasien seharian, Rafan abaikan. Karena sebuah pesan yang ia terima beberapa menit lalu bukan hanya bisa menghilangkan letihnya, namun juga dunianya.

Sesosok gadis remaja menyambutnya begitu ia sampai di tempat tujuan. Dia Maira, adik bungsunya. Rafan langsung meraih tubuh gadis itu ke dalam pelukan untuk menenangkan. "Bagaimana kondisi Mama?" bisiknya lemah.

Maira menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Kak. Kak Daffa yang ada di dalam dari tadi belum keluar. Maira takut," ujarnya dengan suara serak. Punggungnya bergetar, dan tak lama isakan terdengar.

Ia mengeratkan pelukan sambil mengelus punggung Maira. "Jangan menangis. Kak Rafan akan memastikan Mama baik-baik saja." Rafan mengurai pelukan seraya menghapus air mata di pipi Maira. "Ya, sudah, Kakak masuk dulu ke dalam."

Tepat ketika Rafan hendak membuka pintu, seorang laki-laki muda dengan berperawakan tinggi dengan wajah versi dirinya saat remaja lebih dulu keluar. Laki-laki itu menatapnya tajam dengan aura permusuhan yang kental.

"Bagaimana kondisi Mama?" Rafan kembali mengulang pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya pada Maira.

Daffa, adik pertamanya mendengus. "Lo peduli? Buat apa? Harusnya lo sadar, apa yang terjadi sama Mama sekarang, gara-gara kelakuan lo, Kak!"

"Kak Daffa!" tegur Maira.

"Kak Rafan tahu, ini salah Kakak. Tapi, kamu enggak berhak bicara sekasar itu." Rafan memperingatkan.

Daffa bersedekap. Tampak tidak peduli. "Terus, Daffa harus bilang makasih sama Kakak karena udah buat Mama sakit, gitu?" tanyanya sarkas.

Tidak perlu diingatkan, ia pun ikut andil dalam insiden ini. Tapi sekarang yang ia butuhkan adalah melihat dan mengetahui kondisi ibunya, bukan berdebat dengan Daffa yang masih diselimuti emosi. Jadi Rafan memilih melewati laki-laki yang masih memasang wajah kesal itu begitu saja dan meraih pintu.

Seperti biasa, ruang IGD menjadi tempat paling sibuk seantero rumah sakit meski di malam hari sekalipun. Ada beberapa pasien yg sedang mendapakan penanganan dari tim medis di sana. Rafan mulai melebarkan pandangan ke setiap titik sudut untuk menemukan ibunya. Ditengah usahanya, seorang perawat datang menghampiri.

"Ibu dokter Rafan ada di bangsal nomor tujuh, Dok." Perawat itu menggiring langkahnya menuju ke sudut kanan ruangan. "Tadi begitu kami tahu kalau pasien itu ibu dokter dan sedikit mendapat penjelasan dari adik dokter perihal kondisinya, kami langsung melakukan tindakan," jelasnya tanpa diminta. "Dokter Donny masih memeriksa lebih lanjut, Dok."

Setelah Rafan mengucapkan terima kasih, perawat bernama Desi itu pamit. Ketika menyibak tirai, terlihat sang ibu yang terbaring lemah dengan kepala diperban.

"Don, gimana kondisi ibu gue?" tembak Rafan. Donny merupakan salah satu teman dekatnya, jadi ia tidak perlu bersikap formal.

Donny melirik sekilas. Tangannya sibuk mencatat sesuatu di kertas yang dibawanya. "Seperti yang lo lihat. Gue udah cek semuanya, hasilnya bagus. Tapi..." Laki-laki itu menggantung kalimatnya.

365 Days Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang