prolog

505 117 8
                                    


#NoCopas
#StopPlagiat!

Happy Reading...

***

Ketika sebuah pepatah mengatakan kalau "bahagia itu kita yang ciptakan" mungkin pendapat itu tidaklah salah. Nyatanya bagi sebagian orang untuk merasakan kebahagiaan memang tidak mudah. Butuh perjuangan dan usaha keras untuk meraihnya.


Seperti yang tengah Agisha usahakan. Meski harus menjatuhkan harga diri ke titik terendah dengan membongkar isi hatinya pada laki-laki yang tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Sialnya, laki-laki itu adalah seseorang yang sudah menjabat tangan ayahnya seraya mengikrarkan janji di depan penghulu. Bukankah menyedihkan?

Raut laki-laki yang tadi nampak terkejut setelah pengakuan cintanya, sekarang termangu menatapnya dalam diam. Jenis pandangan yang sulit diartikan.

"Kamu bilang apa? Cinta?" laki-laki itu menggeleng kemudian tertawa sumbang. "Kamu bercanda?"

Dari banyaknya respon yang Agisha bayangkan, tertawa bukanlah salah satunya. Jadi hal yang wajar kalau denyutan nyeri di balik dadanya semakin terasa ketika Rafan, sang suami menganggap perasaannya sebagai sekadar gurauan belaka. Ya, Tuhan, kenapa hatinya memilih laki-laki seperti ini untuk dititipkan cinta.

"Aku serius dan nggak sedang bercanda, Mas!" Agisha berucap tegas. "Jadi, aku nggak akan menyetujui keinginan ataupun tawaran kamu."

Rafan mengusap wajah frustasi. "Kamu tahu ini percuma, pernikahan kita tidak akan berhasil."

"Pernikahan kita akan berhasil kalau saja kamu mau memberi kesempatan," sambut Agisha. "Jadi, tolong kasih aku waktu untuk membuat kamu melihatku, merasakan apa yang aku rasakan dan percaya kalau pernikahan ini bukanlah sebuah kesalahan." Agisha sudah bertekad untuk tidak menyerah begitu saja. Ia akan berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Demi hatinya. Juga keluarganya.

Rafan tidak langsung menjawab, namun Agisha yakin kata-katanya barusan cukup mempengaruhi laki-laki itu. Setelah keheningan panjang yang dilalui hanya dengan saling beradu tatap Rafan memutus kontak mata seraya berbalik arah membelakangi Agisha. Tarikan napasnya terdengar berat di telinga Agisha.

"Baiklah, tiga ratus enam puluh lima," ucapnya pelan.

Agisha jelas mendengarnya namun tidak paham artinya. "Maksud, Mas?"

"Tiga ratus enam puluh lima hari," Rafan memperjelas kalimatnya. "Itu batas waktu yang saya kasih untuk membuktikan kata-katamu tadi."

Agisha tercekat. Ia memang menginginkan sebuah kesempatan untuk berjuang. Untuk kembali merangkai harapan yang sudah hancur berserakan. Tapi, satu tahun? Apakah mungkin?

"Tapi, Mas-"

"Satu tahun, atau tidak sama sekali!" Rafan kembali berbalik memandangnya dengan sorot yang seakan tidak mau dibantah.

Agisha mendesah pasrah. "Aku nggak punya pilihan lain, kan? Baiklah, aku setuju."

Mungkin ini akan sulit. Dalam perjalanannya nanti bisa saja menguras air mata. Atau yang lebih buruk, ia harus bersiap mengorbankan hatinya untuk lebih hancur lagi. Namun Agisha sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mundur.

Seperti batu yang dapat berlubang jika terus terkena tetesan air, seperti itu juga harapan Agisha suatu hari nanti. Bahwa melunakkan dan meraih hati Rafan hanyalah soal waktu dan usaha.

Bukankah usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil?

***
TBC

Jangan lupa like dan comment-nya guys.

Salam,

Karsapena.

365 Days Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang