8. Perempuan Masa Lalu

262 26 2
                                    

#NoCopas
#StopPlagiat!

Happy Reading...

***

Agisha tersenyum getir ketika tidak sengaja mendapati panggilan masuk di ponsel Rafan yang tertinggal di meja ruang tamu. Sepertinya laki-laki itu begitu terburu-buru sampai tidak sadar meninggalkan ponselnya.

Agisha meraih ponsel itu. Panggilannya belum berhenti. Ia menimbang apakah akan mengangkatnya atau tidak. Dan keputusanya jatuh saat ia menggeser icon hijau sampai terdengar suara bernada manja.

"Sayang... Kenapa lama banget sih angkat telponnya? Aku kan mau ngomong penting."

Agisha memilih tidak menjawab.

"Haloo.. sayang, kamu denger aku nggak sih? Aku beneran mau bahas yang semalam kita omongin."

Semalam? Jadi keduanya masih berhubungan?

"Sayang, kamu kenapa sih? Rafan! Kalau kamu terus diam, aku bakal—"

Cukup. Agisha tidak tahan mendengarnya. Ia langsung memutus panggilan dan mematikan ponsel. Ternyata Rafan tidak menepati perjanjian dan masih berhubungan dengan perempuan itu. Ia benar-benar kecewa.

Agisha menertawakan kebodohanya sendiri. Bukankah sejak awal Rafan memang sudah membuatnya kecewa. Ia saja yang terlalu naif meminta kesempatan pada laki-laki yang tidak memiliki perasaan untuknya.

Bella.

Satu nama yang tidak asing untuknya. Perempuan berambut sebahu dengan badan proposional, kulit kuning langsat ditambah wajah nan cantik khas perempuan Indonesia. Sekaligus perempuan beruntung yang memiliki Rafan di masa lalu. Sialnya, hingga saat ini. Batinnya pahit.

Agisha pikir saat Rafan datang melamarnya, laki-laki itu sudah tidak terikat oleh perempuan manapun. Tidak juga dengan Bella. Begitulah setidaknya yang ada dalam benak Agisha. Tapi ternyata semua hanya angan bagi Agisha. Rafan datang bukan karena keinginannya melainkan keterpakasaan oleh keadaan.

Dan lagi, kenapa Agisha harus kembali bersaing dengan orang yang sama seperti dulu. Pada perempuan yang kerap membuatnya iri dan cemburu di masa lalu karena begitu mudah mendapatkan perhatian Rafan. Tidak seperti Agisha yang selalu diabaikan dan dianggap tidak pernah ada. Entah mengapa memikirkan kenangan lama membuat semangat yang awalnya berkobar menjadi padam perlahan.

***

"Ghis, lo dengar nggak sih?"

Agisha tersentak dari lamunannya.

"Astaga, gue capek-capek ngomong nggak lo dengerin dari tadi. Apa sih yang lo pikirin?" Omel Ara dengan raut sebal.

"Sorry Ra, gue lagi nggak fokus. Lagi kurang enak badan juga sebenarnya," kilah Agisha. Akhir-akhir ini ia memang sering kurang fokus akibat masalah yang dihadapinya.

Ara tersenyum jail. "Gue emang belum nikah sih Ghis, tapi apa emang separah itu ya? Sampai lo jadi nggak enak badan di hari pertama kerja setelah cuti hampir seminggu."

Mendengar ucapan Ara, Agisha seperti diingatkan bahwa sudah seminggu ia menikah dan tidak ada kemajuan di pernikahannya. Menyedihkan.

"Ck, ngelamun lagi." Ara menyenggol bahu Agisha.

"Eh? Siapa yang ngelamun? Gue lagi mikir maksud ucapan lo, Ra," elak Agisha.

"Yaelah, Ghis pake pura-pura polos lagi. Itu lho, ritual pengantin di malam hari." Ara menaik turunkan aliasnya.

Agisha termangu sejenak. Ritual pengantin di malam hari? Astaga!

Ara terkikik geli. "Biasa aja kali, Buk. Nggak usah kaget gitu. Mana mukanya merah lagi."

Agisha memukul bahu Ara pelan. "Lo sih jorok banget pikirannya."

"Lah, emangnya gue nanya apaan dah?" tanya Ara lugu.

Agisha kembali mengulurkan tangan hendak meraih lengan sahabatnya namun Ara buru-buru menghindar seraya tertawa.
"No problem, kalau nggak mau cerita. Itu kan rahasia dapur lo. Tapi, dari lo yang kurang enak badan dan kelelahan begini, gue tahu sih jawabannya."

"Ara!"

Tawa Ara makin keras sehingga menyita perhatian beberapa karyawan yang sedang makan di kantin kantor.

"Iya.. iya, udahan deh. Jangan cemberut gitu." Ara bangit berdiri. "Yaudah sebagai permintaan maaf gue deh yang pesen makan. Mumpung antre-annya nggak serame tadi."

Agisha memperhatikan punggung Ara yang menjauh dengan perasaan bersalah. Andai saja sahabatnya itu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernikahannya tidak seperti yang Ara pikirkan barusan.  Tapi, ia juga belum memiliki keberanian untuk bercerita. Agisha terlalu takut dan malu.

Untuk sekarang, biarlah semua kepahitan ini Agisha tanggung sendiri. Paling tidak sampai Agisha merasa sudah berada dititik terendah dan tidak sanggup lagi menahannya, barulah mungkin ia akan menceritakan segalanya pada Ara. Tapi, di dasar hatinya yang paling dalam Agisha berharap ia bisa meraih Rafan tanpa perlu membongkar semuanya pada siapapun. Ya, semoga saja.

***
TBC



365 Days Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang