#NoCopas
#StopPlagiatHappy Reading...
***
"Kamu diam tapi bisa juga menghanyutkan. Satu hal yang menakjubkan sekaligus mengkhawatirkan."
-Rafandhika Rahagi-
***
Rafan terpaksa menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh Agisha meski hatinya sangat ingin memberontak. Tidak bisa berhubungan dengan Bella? Yang benar saja! Namun sekali lagi, ia tak punya kuasa untuk mengabaikan. Menolak berarti menghancurkan semua rencananya.
Duduk di sebuah coffee shop langganannya, seperti biasa Rafan memilih kembali kabur setelah membuat perjanjian dengan Agisha. Ia butuh keluar untuk mengendalikan emosinya yang meluap. Sialan, seharusnya di sini ia yang memegang kendali atas pernikahan 'sementara' ini, bukan malah sebaliknya.
Ternyata Agisha tidak selugu yang dipikirkannya. Ancaman perempuan itu tidak main-main. Kalau saja tadi Rafan memilih mementingkan egonya, bisa dipastikan statusnya berubah menjadi duda hanya dalam hitungan jam saja. Dan itu tidak baik untuk repotasinya. Belum lagi kalau Ibunya sampai tahu, Rafan yakin namanya akan langsung hilang dari kartu keluarga.
Suara dering ponsel di atas meja mengalihkan perhatiannya. Nama yang tertera di layar biasanya mampu membuatnya tersenyum tapi tidak kali ini. Untuk apa Bella menelponnya lagi? Apakah perempuan itu belum percaya penjelasannya semalam. Rafan mengembuskan napas panjang sebelum meraih ponselnya.
Ia hampir menerima panggilan itu kalau saja kalimat Agisha beberapa jam lalu tidak berputar kembali di benaknya.
"Kamu sudah menyetujui kesepakatan ini Mas, dan aku harap kamu tidak melanggarnya. Ingat, kamu tidak boleh berhubungan dengan Bella lagi mulai saat ini," kata Agisha pelan namun terdengar penuh ancaman.
Rafan mengusap wajahnya dengan sebelah tangan yang lain. Ia jadi bimbang apakah harus menerima panggilan Bella atau tidak. Masalahnya ia sudah terlanjur berjanji. Dan ia bukan tipe orang yang biasa melanggar sesuatu yang telah diucapkannya.
Tapi kalau panggilan ini Rafan abaikan, hubungannya dan Bella bisa saja memburuk dan ia tidak mau itu terjadi. Baiklah, ia memang sudah berjanji tidak akan berhubungan dengan Bella setahun ke depan, tetapi kalau komunikasi melalui telepon tidak salah kan?
Rafan menyeringai bersiap menggeser icon hijau untuk menerima panggilan tepat ketika seseorang memanggil namanya. Astaga, itu ibunya. Ia lupa kalau cafe ini juga langganan ibunya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Mutia ketika mendekat. Matanya tampak melirik sekitar. "Agisha mana?"
Rafan buru-buru menyimpan teleponnya di saku. "Oh... itu, aku lagi cari makan, Ma."
"Makan?" Mutia menyipit curiga. "Terus Agisha mana?" ulangnya lagi.
Rafan berusaha terlihat tenang. "Aku sendiri, Ma. Agisha nggak mau ikut, padahal udah aku ajak. Capek katanya."
"Capek?" Mutia terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah sumringah. "Ya, sudah kalau begitu, Mama pamit. Kamu jangan terlalu lama diluar tanpa istrimu. Masa pengantin baru jauh-jauhan. Dan teruslah buat Agisha capek, sampai Mama bisa menimang cucu."
Rafan menggeleng. Tahu betul maksud ibunya. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Pernikahan mereka tidak mengarah ke sana. Setelah memastikan Mutia keluar cafe barulah ia kembali mengambil ponsel di saku.
Sudah ada notifikasi tiga panggilan tak terjawab. Rafan mengembuskan napas lelah. Pertanda buruk. Ia dengan cepat menelpon balik Bella. Tidak mau ada keributan nantinya.
"Halo, Bella. Maaf tadi—" Rafan langsung menjauhkan telepon dari telinga begitu suara Bella terdengar nyaring. Pacarnya benar-benar mengamuk.
"Astaga, Bella. Tolong dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan," Rafan mencoba memberi pengertian. "Enggak bukan seperti itu. Aku nggak mungkin mengabaikan kamu, oke? Biarkan aku yang bicara sekarang."
***
Bau harum masakan langsung tercium begitu Rafan membuka pintu apartemen. Perutnya tiba-tiba saja menjadi lapar. Tadi ia hanya makan camilan dan minum kopi saat berada di cafe. Jadi wajar saja perutnya mulai meronta meminta asupan. Sampai di meja makan, tampak Agisha sedang sibuk menata berbagai makanan yang sepertinya baru saja selesai di masak.
"Mas sudah pulang? Ayo kita makan, kebetulan aku baru saja selesai masak," kata Agisha saat menyadari keberadaan Rafan. Tidak ada tanda-tanda kecanggungan yang nampak dari gesturnya. Seakan debat alot perihal kesepakatan itu tak pernah terjadi.
Sebenarnya Rafan benar-benar lapar, namun mengingat dan melihat Agisha sekarang masih menumbuhkan amarah dalam dirinya. Jadi lebih baik, ia menahan rasa laparnya daripada harus menikmati makanan berdua di meja makan. Bisa-bisa Agisha mengira dirinya telah melunak lagi. Jangan mimpi!
"Saya nggak lapar," balasnya sambil lalu. Ia menuju dapur untuk mengambil air minum.
Agisha mengikuti Rafan ke dapur. "Mas, tapi aku udah masak banyak. Sayang kalau nggak dimakan. Di luar sana masih banyak orang yang kelap—."
"Saya nggak minta, kan?" potong Rafan ketus.
Agisha mendesah. "Memang iya, Mas Rafan nggak minta. Tapi, ini kan udah menjadi kewajiban aku sebagai istri untuk menyiapkan makanan buat, Mas."
"Terserah. Yang jelas saya nggak mau makan." Rafan meletakkan gelas dalam genggamannya sedikit keras ke atas meja berlalu menuju kamar.
Agisha terdiam di tempatnya. Tersenyum kecut memperhatikan makanan yang masih mengepul di atas meja. Padahal ia sudah susah payah memasaknya. Tapi Rafan bahkan tidak mau repot-repot menyentuhnya.
Lalu harus ia apakan makanan sebanyak ini? Tidak mungkin kan ia menghabiskannya sendirian. Agisha mengembuskan napas pendek. Berusaha menabahkan diri.
Rafan berada dalam kamar, mengintip dari celah pintu. Ia dapat melihat Agisha makan dengan tenang sendirian. Beberapa kali Rafan menjilati bibirnya memandang aneka makanan yang terhidang di meja. Sungguh, ia benar-benar lapar. Tapi gengsinya lebih tinggi daripada urusan perutnya. Rafan tidak ingin memberikan sinyal seakan-akan ia telah luluh oleh Agisha.
Perasaan tak nyaman itu datang lagi ketika ia harus mengabaikan dan berbicara keras seperti tadi pada Agisha. Namun perempuan itu memang harus diberi pelajaran agar tidak berbuat ulah lagi. Contohnya saja tentang perjanjian dan kesepakatan yang Agisha buat. Yang sayangnya harus Rafan setujui akibat ancaman perempuan itu. Sial, mengingatnya hanya membuat bara api dalam dadanya kembali berkobar.
Baiklah, kita lihat saja nanti sampai berapa lama Agisha bisa tahan hidup dengannya. Karena jujur saja Rafan juga sudah menyiapkan berbagai rencana untuk membuat Agisha menyesal telah meminta kesempatan untuk menaklukan hatinya.
*TBC*
Jangan lupa vote dan comment-nya nya guys.
Salam,
Karsapena.
![](https://img.wattpad.com/cover/193910533-288-k536481.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days
RomancePernahkah kamu mengejar seseorang yang tak pernah sekalipun melihatmu? Tak mempedulikanmu? Atau mengabaikanmu hanya karena tak cukup memiliki perasaan yang sama? Kalau belum, Agisha akan menunjukkannya. Bagaimana rasanya berjuang sepihak untuk sebua...