#NoCopas
#StopPlagiat!Happy Reading, guys...
***
Bencilah aku. Sebagai cara melupakan dan menghapus semua rasamu untukmu.
-Rafandika Rahagi-
***
Berengsek. Mungkin julukan itulah yang pantas Rafan sematkan dalam namanya mulai malam ini. Ia pantas mendapatkan predikat itu setelah menyerang dan melukai istrinya dengan kalimat-kalimat menyakitkan di malam pertama pernikahan mereka. Malam yang seharusnya dihabiskan dengan penuh kasih dan cinta sebagai pasangan pengantin baru justru berubah menjadi perdebatan sengit yang dibumbui air mata sang pengantin wanita.
Belum cukup sampai di situ, ia yang enggan melanjutkan pembicaraan karena takut tak bisa mengontrol emosi juga tidak sanggup melihat tangis pilu perempuan yang sudah menjadi istrinya itu memilih melarikan diri dan meninggalkannya begitu saja.
Jadi, di sinilah Rafan sekarang. Di sebuah cafe yang terletak di sebelah hotel tempat resepsi pernikahan dan tempatnya menginap. Rafan bersyukur menemukan cafe yang beroperasi dua puluh empat jam, sehingga ia bisa singgah sementara waktu sebagai pengalihan. Suasana cafe yang tidak terlalu ramai juga seakan membantu, karena terus terang ia butuh sedikit ketenangan setelah ketegangan beberapa menit lalu.
Rafan menenggelamkan wajah pada telapak tangan ketika kembali memikirkan pembicaraan tadi. Meski tidak ingin, ia juga merasa bersalah atas semua pengakuan dan kata-kata tajamnya pada Agisha. Namun ia hanya mencoba untuk jujur, bagaimanapun memang itulah kenyataannya. Ia tidak menginginkan pernikahan ini dan menerimanya hanya sebagai penebus rasa bersalah pada ibunya. Mau tidak mau, suka tidak suka Agisha harus tahu dan menerima itu.
"Hei, Bro." Seseorang menepuk bahunya.
Saat mendongak, Rafan sedikit terkejut mendapati Donny dan Bima sudah berdiri di depannya. Ekspresi janggal juga ditunjukan dua sahabatnya itu. Keduanya memandang Rafan seakan ia adalah sesuatu yang langka dan tak pernah terlihat sebelumnya. Ya, siapa juga yang tak aneh melihat seorang pria yang baru saja menikah, berada di luar di malam pengantinnya tanpa sang istri.
Rafan menghela napas. Ini tidak akan berakhir baik. "Lo berdua belum balik?" tanyanya basa-basi.
Donny menarik kursi di sisinya "Gue malas pulang. Jadi sekalian nginap saja. Toh, dari hotel ini ke rumah sakit nggak jauh juga." Ia melambaikan tangan memanggil seorang pelayan yang berjaga.
Bima yang duduk di depan hanya mengendik saat Rafan menatapnya. "Gue ke sini bareng si kunyuk ini." Bima menunjuk Donny dengan raut sebal. "Enggak punya pilihan lain selain ikut nginap, kan? Males banget kalau harus pulang naik taksi tengah malam begini."
"Nah, lo ngapain ada di sini? Sendirian lagi," ujar Donny setelah selesai menyebutkan pesanan pada pelayan.
Rafan berdeham, memasang raut setenang mungkin. Ia belum siap membagi masalah pribadinya. "Memangnya salah kalau gue ada di sini? Ini tempat umum, kan? Siapa aja boleh ke sini."
"Lo nggak salah ada di sini." Bima ikut bersuara. "Yang salah itu waktu dan kondisinya. Lo tahu maksud gue." Ia membuat tanda kutip dengan jari sambil mengerling jail.
"Kenapa sama waktunya? Gue butuh kopi, makanya gue datang ke sini." Sepertinya Rafan perlu menjahit mulutnya agar tidak membalas lagi. Belajar dari pengalaman, meladeni Bima Hariyadi tidak akan mudah dan lebih banyak menguras emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days
RomansaPernahkah kamu mengejar seseorang yang tak pernah sekalipun melihatmu? Tak mempedulikanmu? Atau mengabaikanmu hanya karena tak cukup memiliki perasaan yang sama? Kalau belum, Agisha akan menunjukkannya. Bagaimana rasanya berjuang sepihak untuk sebua...