25

2K 348 14
                                    

***

Setelah meyakinkan Woojin kalau ibunya tidak akan menikah dengan Oh Sehun, Jiyong membawa bocah itu ke pusat hiburan video game arkade. Bersama Joongi, Woojin kembali ceria di tempat permainan itu. Bocah itu berlarian, mencoba semua game yang ada disana bersama Joongi– sedang Jiyong menelpon Lisa dan mengabari wanita itu kalau putranya sedang bersamanya.

"Kenapa kau mengajaknya kesana? Bersama Joongi juga? Joongi harus pergi les matematika, eommanya akan marah kalau dia tidak berangkat les," ucap Lisa, di awal panggilan itu, setelah Jiyong mengabarinya kalau mereka ada di pusat hiburan video game arkade.

"Putramu sangat marah, aku tidak tahu caranya menghibur anak 8 tahun selain mengajaknya kesini. Kau pikir aku sudah pernah punya anak sebelumnya? Ini kali pertama aku harus menghibur seorang anak 8 tahun," balas Jiyong sembari memperhatikan Woojin dan Joongi yang sedang duduk di balik roda kemudi mainan. "Dan soal Joongi, bukankah kau bisa memberitahu ibunya agar tidak perlu-"

"Antarkan Joongi dan Woojin pulang saja. Ini bukan akhir pekan, Woojin hanya boleh kesana di akhir pekan,"

"Pantas saja tadi mereka tidak percaya kalau aku akan mengajak mereka kesini," gumam Jiyong, masih sembari memperhatikan Woojin dan temannya bermain disana. "Kenapa kau melarangnya bermain? Semua anak berhak untuk bermain dan bersenang-senang, mereka akan jadi anak nakal di sekolah kalau tertekan dirumah. Woojin bahkan berani memukul seorang anak di kelas empat-"

"Apa katamu? Apa Woojin terluka sekarang?"

"Ya, ada lebam di wajahnya, tapi aku sudah membelikannya obat. Aku sudah membawanya ke rumah sakit dan lagi-lagi ada pria yang mengenalimu disana. Sebenarnya berapa banyak pria yang kau dekati? Apa kau tahu kalau sikapmu itu membuat Woojin diejek? Karena kau berkencan dengan gurunya, teman-temannya berfikir kalau dia dapat perlakuan khusus di sekolah,"

"Apa yang sedang kau bicarakan sekarang? Cepat bawa Woojin pulang, sepertinya kita harus bicara sekarang," ucap Lisa, terdengar kesal karena ucapan Jiyong barusan. Ia tidak tahu apa yang terjadi di sekolah, tapi ucapan Jiyong barusan membuatnya benar-benar kesal. Ia tidak berkencan dengan siapapun, tapi bisa-bisanya Jiyong mengatakan hal itu padanya.

Tiga puluh menit setelah panggilan itu berakhir, Jiyong akhirnya tiba di rumah Lisa bersama Woojin di sebelahnya. Jiyong sudah lebih dulu menurunkan Joongi di rumah bocah itu sebelum kemudian ia menurunkan Woojin di depan toko ibunya.

"Eomma-"

"Kau baik-baik saja?" khawatir Lisa, melihat wajah Woojin yang lebam karena berkelahi. "Berapa kali eomma bilang, jangan berkelahi dengan temanmu. Kau juga harus segera pulang begitu sekolah selesai, jangan pergi bermain game. Sudah eomma bilang, eomma akan mengantarmu kesana di akhir pekan," omel Lisa, sembari berlutut di depan putranya, dan di tonton oleh Jiyong yang berdiri di belakang Woojin juga oleh Lucas yang sedang membantu Lisa memindahkan dua lusin air mineral.

"Kalau kau memang khawatir kenapa kau tidak membelikannya handphone atau setidaknya jemput dia sepulang sekolah! Jangan hanya berkencan di toko seperti ini," cibir Jiyong, yang tanpa sadar mengatakan itu tanpa sempat berfikir sebelumnya. Woojin yang mendengar itu lantas menoleh pada Jiyong, menatap Jiyong dan ibunya secara bergantian. "Kau terlihat seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan putranya tapi tampaknya kau menghabiskan waktumu untuk mengencani pria dimana-mana," lanjut Jiyong, melirik Lucas kemudian membuat Lucas bergegas meninggalkan air mineralnya di lantai kemudian mengajak Woojin untuk keluar dari sana.

Lisa bangkit dan ia tatap Jiyong dengan tatapan sinisnya. Setelah sempat melirik keluar sebelumnya– untuk memastikan Lucas dan Woojin sudah keluar– gadis itu berucap, "Walaupun haus, tidak seharusnya aku meminum racun. Aku yang salah, dulu aku yang salah, karena itu, sekarang aku membiarkanmu datang dan bertemu dengannya. Tapi kau sudah melewati batasmu,"

"Batas? Apa yang kau maksud dengan batas?!" kesal Jiyong, ia sudah cukup kesal karena putranya di sebut Oh Woojin dan ia sudah berusaha keras untuk bersabar, tapi sekarang Lisa sama sekali tidak menenangkannya. "Kau harap aku akan diam saja ketika melihat putraku hidup menyedihkan seperti ini? Dia harus berjalan sendirian di tengah hari yang terik setelah lelah sekolah, dia harus pergi ke toko sepulang sekolah, dia tidak bisa bermain ketika dia ingin, belum lagi pria-pria di sekitarmu yang menyulitkan hidupnya. Kenapa kau hidup sangat menyedihkan begini? Kembalilah ke Seoul, kau bisa hidup dengan lebih baik-"

"Kembali ke Seoul lalu memberitahu semua orang kalau aku sudah punya anak? Lalu bagaimana setelah itu? Apa yang harus ku katakan kalau ada yang bertanya siapa ayahnya? Dimana ayahnya sekarang? Kau tahu bagaimana pengaruh namamu untuk Woojin. Kau ingin Woojin terkenal sebagai anak haram G Dragon? Kau bilang dia berkelahi karena diejek temannya, lalu bagaimana kalau semua orang di negeri ini melabelinya sebagai anak haram? Menurutmu dia akan baik-baik saja?"

"Baik, aku tidak akan membuatnya mendapat label itu. Tapi di Seoul, semuanya akan lebih mudah untukmu. Aku tahu uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi dengan uang kau bisa membuatnya senang. Kau bisa bekerja di Seoul, kau bisa membelikannya mainan, kau bisa memberinya hidup yang lebih baik daripada disini, hanya dengan uang yang kau peroleh dari toko sialan ini. Kalau kau tidak ingin bekerja dengan teman-teman lamamu, aku bisa membuatkan sebuah cafe untukmu di Seoul, aku bisa membuatmu jadi direktur di PMO, aku bisa memberimu pekerjaan yang kau kuasai, pekerjaan yang mudah dan menguntungkan untukmu. Tapi disini, di kota kecil ini, apa yang bisa kau lakukan?"

"Kalau kau melakukan semua itu, orang-orang akan curiga dan mulai mencaritahu siapa Woojin sebenarnya," balas Lisa, yang masih berusaha keras menahan dirinya agar tidak terlalu terluka. "Dulu, saat aku tinggal di Seoul, aku tidak perlu khawatir tentang uang. Aku bisa membeli segalanya. Tapi, aku tidak bahagia. Maksudku, kau membuatku bahagia, saat itu kau satu-satunya kebahagiaaku. Tapi saat kau pergi, saat kau tidak ada di sisiku, aku merasa sangat khawatir, aku merasa terintimidasi, semua itu sangat tidak nyaman. Aku adalah beban untuk ibu kandungku, dan dia harus meninggalkanku agar ia bisa hidup bahagia. Saat di adopsi, aku harus berjuang sangat keras agar di terima oleh keluarga baruku. Aku harus mempelajari semua hal, aku harus berlari lebih cepat dari anak lain karena aku takut di buang lagi. Bahkan saat bekerja sekalipun, aku ketakutan. Rekan-rekan kerjaku tidak akan di pecat walaupun mereka melakukan kesalahan, karena orangtua mereka punya saham di perusahaan itu. Tapi aku? Aku akan langsung di pecat kalau melakukan kesalahan. Kemudian aku pindah kesini dan tinggal disini membuatku merasa di terima. Tinggal disini membuatku merasa punya sebuah kebanggaan. Toko sialan ini milikku, Woojin juga milikku. Kalau kau pikir aku hidup demi Woojin, kau salah. Berkat Woojin, aku masih hidup sekarang dan satu-satunya hal yang bisa ku lakukan untuknya hanya melindunginya. Melindunginya dari kata-kata kejam yang akan di sandingkan padanya karena namamu,"

***

0.01%Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang