***
Kali ini di dalam mobil, Jiyong menghentikan mobilnya di tepi jalan, beberapa meter sebelum rumah Woojin. Mesin mobilnya masih menyala dan Woojin duduk di sebelahnya– di kursi penumpang. Woojin melarang Jiyong untuk berhenti di depan rumahnya. Bocah itu bilang, ia tidak ingin ibunya melihat Jiyong lagi– karena di mata Woojin, ibunya selalu sedih setiap kali mereka membicarakan tentang ayahnya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Jiyong, menggeser duduknya agar dapat menatap bocah 8 tahun di sampingnya itu. "Maksudku, bagaimana perasaanmu ketika tahu kalau aku ayahmu?"
"Ahjussi ingin jawaban sopan atau jawaban jujur?"
"Kau bukan tipe anak yang sopan, beritahu saja yang sejujurnya," pinta Jiyong.
Jantungnya berdegup sangat kencang saat ini. Jantung Jiyong terasa seperti balon yang terus dipompa sampai hampir meledak. Dadanya sesak, tertekan oleh degup jantung luar biasa itu. Sedang telapak tangannya mulai berkeringat, terlalu gugup. Ingin rasanya pria itu mengigiti ujung kukunya– seperti biasanya– namun ia tidak ingin menunjukan sisi payah itu pada Woojin. Jiyong tidak ingin Woojin tahu kalau ia hampir saja hancur berkeping-keping siang itu. Mengetahui kalau Woojin mengenalinya, terasa jauh lebih menyakitkan dibanding dengan saat-saat ketika Lisa meninggalkannya delapan tahun lalu. Bocah ini mengenaliku, tapi ia tidak menyukaiku– pikir Jiyong.
"Aku tidak merasakan apapun," jawab Woojin sembari bermain dengan ujung-ujung jarinya. "Bisakah ahjussi tidak menatapku begitu? Aku merasa seperti sedang ujian," pinta bocah itu, merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan yang Jiyong berikan padanya.
"Aku tidak merasakan apapun," ulang bocah itu setelah Jiyong mengalihkan pandangannya ke roda kemudi mobilnya. "Aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya, jadi aku tidak merindukanmu. Aku juga tidak sesenang itu saat bertemu denganmu. Entah kenapa, kurasa, aku lebih bahagia minggu lalu, sebelum aku mengetahuinya,"
"Kenapa? Kau tidak menyukaiku?" tanya Jiyong, terdengar kecewa, seperti seorang pria yang tengah merajuk pada kekasihnya.
"Tidak tahu," polos Woojin, bocah itu tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaannya dan ia juga tidak ingin repot-repot mencaritahu. "Aku hanya merasa aneh,"
"Apa yang aneh?"
"Ahjussi seperti sinterklas... keluarga Sarang bangkrut dan nenek di paras bilang kalau orangtuanya Sarang bercerai karena hutang. Tapi ahjussi punya banyak mobil bagus, ahjussi mengganti mobilmu setiap kali datang kesini. Ahjussi pernah dapat lima juta dollar hanya karena menyanyi di panggung. Ahjussi tinggal di apartemen dan selalu memberiku banyak mainan, seperti sinterklas. Tapi eomma bilang tidak ada yang gratis di dunia ini, ajhussi memberikan semua itu untukku, karena aku anakmu, iya 'kan?"
"Woojin-ah, kalau aku tahu tentangmu lebih awal, aku tidak akan membiarkanmu-"
"Kenapa kemarin ahjussi berteriak pada eomma? Kenapa ahjussi pergi setelah bertengkar dengan eomma? Kenapa ahjussi membuat eommaku menangis dan tidak meminta maaf padanya?" potong Woojin, yang sekarang menatap wajah Jiyong dengan tatapan sedihnya. "Aku bahkan tidak suka mendengar kata appa, itu bukan karena aku merindukan appa, tapi karena eomma selalu sedih setiap kali mendengarnya. Aku tidak bisa menonton kartun karena mereka semua punya appa. Ahjussi sudah membuat eommaku menangis 100 kali lebih. Walaupun eomma bilang kalau appaku pria baik yang dia tinggalkan, tapi aku tetap tidak menyukainya. Aku tidak ingin handphone, aku juga tidak ingin mainan baru, aku tidak ingin punya appa sinterklas," jawab Woojin, meruntuhkan pertahanan diri seorang Kwon Jiyong.
Di sebelah putranya sendiri, pria itu terisak. Namun alih-alih menenangkan Jiyong, Woojin justru berpamitan, membungkuk dengan sopan kemudian membuka pintu mobil Jiyong, hendak pergi keluar dari sana. Setelah meninggalkan pria yang sekarang menangis sendirian di dalam mobilnya, Woojin berlari pulang ke rumahnya. Bocah itu meletakkan tas ranselnya di depan pintu depan rumahnya kemudian kembali keluar, pergi ke toko ibunya. "Eomma! Aku lapar!" teriak bocah itu, terdengar sangat senang setelah berhasil membalas orang yang membuat ibunya menangis.
Dengan sebuah microwave lama yang ada di tokonya, Lisa menyiapkan seporsi kue beras instan untuk Woojin. Wanita itu menyiapkan makanan serta sekotak susu untuk tuan mudanya yang sekarang duduk manis di depan TV, menonton acara olahraga yang kebetulan tayang di TV. "Eomma, tadi aku membuat Jiyong ahjussi menangis," ucap Woojin, hendak menceritakan apa yang terjadi padanya seharian ini.
"Woojin bertemu dengan Jiyong ahjussi lagi hari ini?" tanya Lisa dan Woojin segera mengiyakannya. "Kenapa Woojin membuat ahjussi menangis? Kau memukulnya?"
"Tidak, aku tidak memukulnya, aku hanya bicara padanya," jawab Woojin sembari memperhatikan semangkuk kue beras dengan lelehan keju dan sosis yang Lisa sajikan di depannya. "Jiyong ahjussi adalah appaku," lanjut Woojin yang lagi-lagi membuat orang dewasa membeku karena ucapannya.
"Jiyong ahjussi memberitahumu?" tanya Lisa, setelah beberapa menit ia terdiam, menatap kosong pada wajah putranya yang kebingungan.
"Tidak, eomma bilang tidak ada yang gratis. Jiyong ahjussi membelikanku banyak mainan, tadi dia juga datang dengan handphone baru untukku, bukankah itu terlalu jelas?"
Lisa kembali membeku. Siapa yang menyangka anak seusia Woojin akan mengatakan hal seperti itu. Benarkah bocah yang luar biasa cerdas itu anaknya? Kini Lisa merasa ragu, ia tidak pernah merawat anak seusia Woojin sebelumnya, ia tidak pernah tahu kalau anak-anak seusia Woojin ternyata bisa sejeli itu. Lisa tidak tahu kalau anak-anak seusia Woojin sekarang, ternyata bisa mengamati banyak hal dan mempelajari mereka semua. Lisa merasa ia terlalu meremehkan Woojin, dengan menyembunyikan semua kenyataannya karena mengira Woojin tidak akan mengerti.
"Uhm... Woojin-ah, eomma dan Jiyong ahjussi-"
"Tidak apa-apa, nenek di pasar bilang kalau orangtuanya Sarang bercerai karena hutang, eomma tidak perlu menjelaskan kenapa eomma dan appa bercerai. Aku hanya ingin memberitahumu kalau aku tahu dia appaku,"
"Kenapa?"
"Eomma ingat? Saat aku berbohong tentang nilai matematikaku waktu itu, aku tidak bisa tidur. Setiap malam aku bermimpi kalau eomma menemukan kertas ujianku, lalu aku tidak bisa tidur dan perutku sakit. Aku rasa, sekarang eomma juga merasakan hal yang sama. Jadi, aku memberitahumu kalau eomma sudah ketahuan,"
"Kau baik-baik saja?" tanya Lisa, setelah ia memakai beberapa detik waktunya untuk mencerna ucapan Woojin.
"Jangan bertanya, kepalaku sakit karena memikirkan eomma."
Hidup masih tidak adil, walaupun Lisa sudah berusaha sekuat tenaga. Lisa selalu merasa bersalah mengenai apa yang terjadi pada putranya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
0.01%
FanfictionKetika kau mencintainya tanpa alasan, kenapa kau butuh alasan untuk berhenti mencintainya? Kadang, hanya dengan hilangnya 0.01% rasa saja sudah cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan. Hubungan mereka berakhir hanya karena 0.01% kekecewaan. Nb : Ter...