***
Seperginya Jiyong siang hari itu, Lisa menutup tokonya kemudian pulang kerumahnya– menemui Woojin dan Lucas yang sejak tadi ada di rumah. Woojin tengah menonton TV dengan Lucas ketika Lisa datang, mereka berdua tengah menonton siaran ulang pertandingan sepak bola ketika Lisa datang.
"Kau sudah makan, sayang?" tanya Lisa, yang sengaja menghampiri Woojin kemudian mengusap lembut rambutnya.
"Aku sudah makan mie dengan Lucas hyung," jawab Woojin, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV di depannya.
"Kau marah pada eomma? Kenapa kau tidak ingin melihat eomma?" tanya Lisa, membuat Woojin langsung menoleh kemudian menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku tidak marah pada eomma, pertandingannya hanya sedang sangat menegangkan, tim ku sebentar lagi menang," jawab Woojin, sembari memegangi tangan ibunya agar wanita itu tidak pergi dari sisinya dan ikut menonton bersamanya.
"Aku bertaruh es krim dengannya," susul Lucas, memberitahu Lisa alasan Woojin sangat bersemangat menonton pertandingan itu.
Setidaknya sekarang Lisa bisa merasa lebih tenang, putranya masih bisa bersenang-senang walaupun keadaan mereka tidak sehebat milik Jiyong. "Maaf, eomma memarahimu tadi. Woojin boleh pergi bermain game arkade, tapi hanya di akhir pekan. Eomma yang akan menemanimu kesana. Woojin juga boleh bermain dengan Jiyong ahjussi, atau Joongi, Kyung dan Sarang, tapi Woojin harus pulang lebih dulu. Kau harus memberitahu eomma, menaruh tasmu dan makan siang lebih dulu," ucap Lisa, sembari memperhatikan luka lebam di wajah putranya. "Dan jangan berkelahi dengan temanmu, eomma sedih kalau Woojin kesakitan."
"Maafkan aku eomma, aku tidak akan mengulanginya," balas Woojin, melupakan sebentar pertandingan sepak bola di TV-nya.
Hari itu berjalan dengan sangat lambat. Sepanjang hari, Lisa tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Jiyong. Gadis itu penasaran apakah hidupnya benar-benar menyedihkan, apakah ia memang membuat hidup Woojin jadi menyedihkan, apakah ia memang telah melakukan sesuatu yang buruk pada Woojin, apakah pilihannya selama ini ternyata salah.
"Eomma, kenapa eomma diam saja? Eomma tidak lapar?" tanya Woojin, yang dengan manisnya meletakan sepotong sosis di atas sendok Lisa. "Makanlah, eomma..." pinta bocah itu di jam makan malam kali ini.
"Hm... Terimakasih," balas Lisa yang kemudian memakan sepotong sosis tersebut. "Woojin-ah, apa kau bahagia hidup bersama eomma?"
"Tentu saja, kenapa eomma masih bertanya? Eomma yang paling cantik, eomma yang paling baik, aku sangat senang karena punya eomma seperti eomma,"
"Tapi kau tidak punya appa,"
"Tidak apa-apa, Woojin punya eomma. Eomma bilang Woojin saja sudah cukup untuk eomma, eomma bilang eomma tidak akan menikah karena sudah punya Woojin. Hanya ada kita berdua di dunia ini, jadi Woojin tidak butuh appa, eomma saja sudah cukup," ucap Woojin, terdengar begitu serius hingga dengan susah payah Lisa harus mengulas senyumnya– sekaligus menahan tangisnya. Ia tidak tahu bagaimana dulu ia bisa mendidik bocah itu sampai ia dapat mengatakan hal seperti ini. Ia tidak tahu sejak kapan putra kecilnya bisa menghiburnya sebaik itu. Namun malam itu, selepas Woojin pergi tidur, ucapan Jiyong kembali memenuhi kepalanya. Sembari memperhatikan putranya yang sudah terlelap, wanita itu diam-diam menangis, meminta maaf karena menjauhkan Woojin dari ayahnya, meminta maaf karena membuat Woojin harus hidup miskin bersamanya.
Keesokan harinya, tepatnya di jam pulang sekolah, Woojin kembali melihat mobil Jiyong berhenti di depan sekolahnya. Namun alih-alih merasa bersemangat, Woojin justru menghela nafasnya. Bocah itu tidak lagi senang bertemu dengan sinterklas yang sering membelikannya berbagai mainan.
"Oh ahjussi!" sapa Joongi dan Kyung begitu mereka berpapasan dengan Jiyong yang sudah menunggu. Jiyong tentu saja membalas sapaan kedua bocah itu, namun Woojin hanya menganggukan kepalanya– untuk menyapa Jiyong– dan melangkah menjauh.
"Hei, ada apa?" tanya Jiyong, yang harus mengejar bocah kecil itu hanya untuk bicara dengannya.
Woojin mengabaikan Jiyong. Bocah itu hanya berjalan ke arah rumahnya tanpa menanggapi ucapan dan pertanyaan Jiyong. Tentu Jiyong mengikutinya, sampai Woojin tiba-tiba menghentikan langkahnya karena satu pertanyaan dari Jiyong. "Kenapa? Ada apa denganmu? Kau marah padaku?"
"Ya," ucap Woojin, memberi jawaban atas pertanyaan Jiyong.
"Kenapa? Apa aku melakukan kesalahan?"
"Ahjussi membuat eommaku menangis,"
"Lisa menangis?" tanya Jiyong namun Woojin kembali mengabaikannya. Bocah itu dengan jelas menunjukkan rasa tidak sukanya, namun Jiyong tetap berusaha mengejarnya– mengejar jawaban dari Woojin.
"Berhenti mengikutiku!" pinta Woojin, kesal karena Jiyong terus bertanya apakah Lisa menangis atau tidak. "Ya! Eomma menangis! Selama ini eomma selalu menangis karena ahjussi! Dan ahjussi tidak pernah meminta maaf! Bahkan ketika aku sakit, eomma meminta maaf, kenapa ahjussi tidak pernah melakukannya?"
Teriakan bocah itu membekukan Jiyong.
Entah kenapa rasanya seluruh tubuh pria itu sekarang kaku. Mendengar ucapan Woojin, membuat Jiyong merasa kalau bocah itu mengenalinya. Ucapan Woojin barusan seolah memberitahunya kalau ia tahu siapa ayah kandungnya.
Setetes air keluar dari mata Jiyong. Entah apa yang merasukinya, namun kata-kata Woojin terasa begitu menyakitkan. Mungkin benar apa yang Lisa katakan– kalau ia tidak hidup untuk Woojin, melainkan diselamatkan oleh Woojin. Pertanyaan Woojin tidaklah rumit, hanya sebuah kalimat sederhana yang sialnya justru merasuk sampai ke dalam hati Jiyong. Kenapa Jiyong tidak pernah meminta maaf, pada Lisa maupun Woojin? Jiyong sendiri tidak tahu alasannya. Seolah baru saja tersadar dari koma panjang, Jiyong baru menyadari kalau selama beberapa waktu terakhir ini, ia tidak pernah meminta maaf pada Woojin dan mungkin juga pada Lisa.
"Kau tahu siapa aku?" tanya Jiyong– yang kemudian menutup rapat mulutnya. Pria itu menyesali ucapannya. Ia seharusnya meminta maaf lebih dulu, namun kata maaf tidak juga keluar dari mulutnya. Seperti seorang yang tidak dapat mengendalikan lidahnya sendiri, Jiyong kesulitan untuk meminta maaf pada Woojin.
"Bukankah ahjussi memang menunjukannya dengan sangat jelas?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
0.01%
FanfictionKetika kau mencintainya tanpa alasan, kenapa kau butuh alasan untuk berhenti mencintainya? Kadang, hanya dengan hilangnya 0.01% rasa saja sudah cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan. Hubungan mereka berakhir hanya karena 0.01% kekecewaan. Nb : Ter...