NwPpi12

4.2K 587 87
                                    

( ͡° ͜ʖ ͡°)

Canggung dan takut luar biasa. Terhitung sudah lebih dari sepuluh menit dan Jimin hanya bisa diam menunduk dalam duduknya di tengah keterdiaman yang terasa mencekam.

Rasanya Jimin seperti diibaratkan seorang pembunuh yang sangat pantas untuk dihukum mati. Duduk di tengah-tengah persidangan-ruang tamu-di hadapan saksi sidang dan hakim-papi Jeon dan om Taehyung-, lalu dirinya sangat pantas menerima cemoohan serta tatapan benci dari orang-orang.

Selama lebih dari sepuluh menit itulah Jimin diam ditatap begitu lekat oleh papinya, dan si Teha Teha menyebalkan itu. Oyah.. Si om Teha itu sudah Jimin masukan dalam daftar hitam miliknya. Atau.. saingan? Entahlah.

Yang pasti, sesuatu antara papi Jeon dan si Teha Teha itu masih menjadi misteri terbesar.

"begini Jimin.."

Papinya membuka suara setelah terdiam cukup lama. Jimin sedikit melirik ke arah papinya yang tengah duduk, tampak wajah kelelahan dari lelaki dewasa itu terbukti saat lelaki itu memijit bagian kepalanya dan menutup mata sebentar.

Satu yang menjadi fokus utama Jimin saat ini.

Dipanggil Jimin?
Bukan adek?
Kok dingin banget yah?
Rasanya kok cukup aneh gitu?
Ada sedikit nyut di dada Jimin ketika mendengarnya.
Bukan apa-apa..
Hanya saja Jimin seperti belum terbiasa.

"papi paham sama sifat kamu yang masih remaja." lanjut papinya. "pertama, papi minta maaf karena mungkin selama ini kesannya memaksa kamu. Papi sadar papi gak bisa maksa kamu untuk berubah, sementara apa yang kamu lakukan sudah menjadi kebiasaan kamu selama ini."

Kok sakit yah?
Kenapa papinya ngomong gitu?
Saat dengar rentetan kalimat itu, Jimin rasanya lebih memilih papinya mengucapkan segala bentuk larangan, nasihat, ataupun marah-marah.
Karena jika papinya berbicara seperti itu, terasa seperti tidak ada rasa peduli lagi.

Baiklah..
Tetap ingat jika Jimin masih remaja labil.

"sekali lagi papi minta maaf." sebuah usapan lembut terasa di kepalanya, sejenak mampu membuat Jimin menutup mata dengan rasa nyaman dan hangat. "papi hanya memikirkan perasaan mami kamu. Apa kamu bisa bayangin seberapa besar kecewa yang akan menampar mami kamu saat tahu jika anak yang selama ini dia yakini sebagai anak yang baik, manja, penurut, nyatanya melakukan hal yang sangat mengecewakan."

Rasa bersalah memenuhi diri Jimin mengingat maminya lagi. Benar! Jimin tidak pernah berpikir panjang tentang sesuatu yang akan dia lakukan. Tidak memikirkan konsekuensi terlebih khusus maminya sendiri.

"maaf.."

Sedikitnya Jimin mulai merasakan kejengkelan yang luar biasa. Jika papinya terus menerus meminta maaf dan merendahkan serta menyalahkan dirinya sendiri, hal itu menampakan kesan jika Jimin teramat nakal dan brengsek.

"tapi bukan berarti papi tidak menuntut kamu untuk berubah!" nada suaranya kembali tegas dan marah. "apapun itu alasannya, papi mau kamu janji untuk tidak ikut dalam hal-hal liar seperti itu! Jika kamu begini terus, papi gak akan pernah mau balik lagi ke rumah, dan papi pastikan untuk melepas tanggung-jawab atas kamu."

Kalimat yang terdengar sederhana namun nyatanya membuat Jimin lemah. Bukan ini yang dia inginkan!

"cukup pi!" dua kata pertama yang Jimin ucapkan setelah terdiam cukup lama. "jangan membuat adek semakin terpojok lagi.. Adek gak mau dengar papi ngomong gitu lagi!" Jimin total sakit karena kalimat terakhir yang papinya ucapkan.

Rasanya cukup sakit mendengar kalimat melepas tanggung-jawab.

Tidak!
Bukan ini yang Jimin mau!

ɴᴇᴡ ᴘᴀᴘɪ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang