NwPpi25

5.3K 384 75
                                    

Bukan butuh waktu sebentar agar lelaki mungil itu dapat mencerna setiap hal yang memaksa menerobos dinding otaknya sendiri. Seolah Jimin butuh tambahan kekuatan agar semua hal itu bisa menembus pertahanan kuat yang dibangun pikirannya sendiri.

Penjelasan panjang namun ribet yang disampaikan Jihoon beberapa waktu lalu tak lain malah membuatnya merasa seperti orang bodoh untuk satu waktu tertentu. Di mana untuk memahaminya, Jimin bahkan tak kuasa bahkan hanya untuk sekedar menunjukan cengiran minimal senyum tipis sekedar tanda bahwa dia baik-baik saja.

Kakinya berdiri beku pada pijakan tepat di depan pintu masuk sebuah ruangan, di mana ketika matanya berhasil menerobos celah pintu tersebut, terpampang tepat di sepasang indera penglihatannya sesosok lelaki dengan umur kepala empat, duduk menyandar pada headboard ranjang rumah sakit.
Sosok Jimin bisa dipastikan belum menyapa mata lelaki dewasa tersebut karena seluruh atensinya tertuju pada laptop yang saat ini sedang dimainkan kesepuluh jari tangan yang mulai tampak keriputnya tersebut.

Nafasnya tercekat, wajah memerah tanda menahan tangis, begitupun dengan sepasang bola mata yang tertutupi kelopak mata sipit tersebut tampak berkaca-kaca terbawah suasana. Ujung jari-jari Jimin tampak bergetar dan terasa dingin karena perasaan dalam dirinya yang terasa tak menentu saat ini.

"papi?"

Bahkan ketika kedua pandangan tersebut saling bertabrakan untuk pertama kalinya, Jimin tak beranjak sama sekali dari pijakannya, melainkan merasakan jika kedua pundak terasa lemah untuk ditopang dirinya sendiri.

Mata itu menangkap langsung perawakan sang papi untuk pertama kalinya setelah berita kematian gadungan tersebut. Bagaimana tampannya lelaki itu meski dengan wajah yang masih cukup pucat, juga umur yang menandakan jika dia tidak lagi muda.

"Jimin?" senyum yang Jimin turuni berhasil mengembang di wajah lelaki itu, membuat pemilik nama yang dipanggil tak menunggu lama untuk langsung berlari dan melayangkan sebuah pelukan yang sarat akan kerinduan mendalam.

Dia hanya merasakan terlunasi sebuah kerinduan yang dia pendam selama ini.
Jimin hanyalah bocah 16 tahun yang masih sangat membutuhkan rengkuhan, pelukan, dan dorongan dari sosok seorang ayah. Bukan ayah-papi-jadi-jadian seperti papi Jeon! Kenapa? Karena papi Jeon itu ayah yang merangkap jadi sugar daddynya Park Jimin.
Ya iya lah! Perawan-perjaka(?)-Jimin saja sudah berhasil diambil lelaki itu.

Fokus!

"papi senang kamu hidup dengan baik selama ini." kecupan sayang bertubi-tubi menyapa pucuk kepala Jimin saat dirinya masih ada di pelukan hangat ayah kandungnya tersebut. "maafkan papi, nak.."

Suara yang sarat akan kekecewaan mendalam. Jimin tahu kemana arah kata maaf dari sosok ayah di depannya ini.

Jimin memang rindu akan papinya tersebut, apalagi saat mengetahui jika papinya itu menjadi tahanan ilegal Hyerin, si wanita gila yang penuh obsesi membutakan. Tapi saat teringat kembali jika penyebab dirinya penuh dengan masalah saat ini adalah lelaki yang masih setia merengkuhnya dalam pelukan hangat tersebut, kecewa mendominasi pribadi si mungil.

Ya, Jimin kecewa!

Saking kecewa, Jimin tidak memikirkan suatu hal yang menjanggal dengan logis!

Seperti.. orang tua mana yang dengan senang hati mendorong anak kandungnya sendiri menuju tempat gelap?

Pikir pakai logika!

"papi minta maaf untuk dua hal, sayang." lanjut papi Park saat telah melepas pelukan hangat tersebut. "pertama, soal bahan percobaan itu. Iya, benar! Papi saat itu buta dengan ambisi papi untuk menciptakan sesuatu yang berbeda di masa depan, dengan mempertaruhkan kamu dan anak Hyerin, Park Jihoon. Satu yang harus kamu tahu, papi tidak pernah rela mengorbankan anak papi sendiri, Park Jimin! Dan karena itu, papi melakukan kesalahan besar untuk yang kedua kalinya. Karena itu, hal kedua yang membuat papi ingin minta maaf adalah kesalahan besar kedua yang papi maksudkan itu! Papi--"

ɴᴇᴡ ᴘᴀᴘɪ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang