X. Fluff
"Sleep."(Ian Stathway--Hwang Hyujin/Eizer Dresent--Lee Felix, Cherla Ludwig--Jeon Heejin, Rex Patterson--Kim Seungmin)
▪︎▪︎▪︎
HARI INI entah mengapa menjadi hari yang melelahkan tuk Ian Stathway yang baru menanjak umur lima belas tahun. Semua orang memberitahunya, "Selamat ulang tahun! Semoga kau dapat menjadi yang terbaik di antara semua yang baik." Yang mana hanya Ian balas senyum serta terima kasih--agak canggung. Ian bukannya tipikal manusia yang terlalu tertutup atau bagaimana. Hanya saja energinya seakan terkuras tatkala berada di kerumunan orang terlalu lama, padahal mereka tidak mengintimidasinya. Sebagaimana contoh, ia pergi jalan-jalan bersama teman sekelasnya, mereka hanya bercengkerama sesekali bergosip siapa gadis tercantik dan memiliki porsi tubuh yang ... begitulah, bukan topik yang cocok untuk Ian. Ia sendiri tahu bahwa gadis dan dirinya tak ditakdirkan menjadi satu, ia pernah berkencan dengan salah satu gadis tercantik di junior high school. Mereka berciuman dan Ian membayangkan orang lain yang menciumnya, bukan gadis itu, melainkan sosok lelaki. Si violinis. Awalnya Ian tak percaya sampai pada titik ia bermimpi melakukan hal yang membuat napas terengah bersama lelaki itu. Ah, tatkala memikirkannya pipinya bersemu malu dan terbesit ketakutan.
Ian menggeleng-geleng menghilangkan pemikirannya. Memegang pipinya, duh, panas.
Kini ia menuju perpustakaan, dan masih mendapatkan ujaran selamat ulang tahun. Ia bertemu Cherla. Kini, ia bersekolah di Nashville Art High dan Cherla adalah gadis tercantik, kata orang-orang. Bahkan ada yang berujar kelak Cherla akan menyambat gelar "Queen", yakni gelar yang diberikan kepada gadis tercantik dan termenonjol akan keahliannya. Gelar ini awalnya hanya lelucon dari yang Ian dengar. Tetapi entah bagaimana caranya telah menjadi salah satu tradisi di sini.
"Selamat ulang tahun!" Cherla berujar dengan semangat, walau begitu dia tak kehilangan keanggunannya (mungkin memang sudah menjadi ciri khasnya). "Ini." Cherla menyerahkan sebuah bingkisan berbentik segi empat kepadanya. Ian sendiri agak terkejut, pada pasalnya Cherla dan dirinya tidak begitu dekat. Mereka hanya beberapa kali berbincang tatkala bertemu, itu pun selalu dimulai dari Cherla.
"Terima kasih." Ian menerima kado dari Cherla dan bertanya-tanya apa isinya. Wajah Cherla tidak asing, itulah pendapat Ian awalnya kepada Cherla (ia melupakan fakta bahwa Cherla adalah gadis yang ia beri pelukan hangat tatkala kompetisi balet. Gadis yang tengah ketakutan dan menangis).
Setelah menerima kado dari Cherla, Ian bergegas ke perpustakaan. Tempat yang cukup sepi karena tidak banyak murid yang tertarik dengan buku, Ian sendiri hanya menyukai buku fotografi di sana. Tetapi setidaknya di sini ia dapat mengisi energinya kembali dengan membaca seraya tidur-tiduran, toh ia memiliki satu jam untuk istirahat.
Ian mengambil buku fotografi, duduk di meja dekat jendela. Ia memandang keluar. Salju-salju putih telah tiada, dedaunan hijau mulai tumbuh, namum masih tiada kuncup bunga yang membuka diri. Ulang tahunnya merupakan awalan dari mekar, akhir dari dingin menerpa. Sesekali Ian berpikir, bahwa pada hari ulang tahunnya merupakan awal dari kehidupan. Ian terkekeh pelan. Ah, rasanya jadi agak konyol. Ian menyiapkan kamera, di ulang tahunnya ia perlu memotret sesuatu (andaikan ia bisa ke ruang musik, barangkali ia akan memotret Eizer di sana--boleh tidak ya?). Eizer Dresent, si violinis berbakat tetapi hanya hobi bermain dengan temannya, Rex Patterson. Mereka lengket seakan telah diberi perekat pada satu sama lain. Ian sendiri tahu, Eizer hanya tersenyum lebar tatkala bersama Rex. Kini ia memainkan kameranya dengan menyandarkan tubuhnya depannya pada meja. Ia masih belum memiliki keberanian memotret Eizer diam-diam. Mungkin pada pertunjukkan mereka kelak di Grand Ole Opry, Ian akan memberanikan diri memencet tombol yang membunyikan "cekret!" pada kameranya.
Seraya membayangkan segalanya, Ian mengantuk, lalu tertidur sebelum membaca buku yang ia ambil. Tidur dengan segala angan-angan yang mampu membuatnya bahagia.
.
.
.
"Pergi sana jangan ganggu aku sama pianoku," adalah perkataan Rex tanpa jeda. Kini Rex memperlihatkan raut tajam menusuk, raut ini selalu ada tatkala Eizer menemukan Rex tertidur lalu mengambil pena membuat kumis tiga pada kedua pipi Rex, difoto, setelahnya ia akan mengirimnya ke kontak Rex. Kemudian, ia akan membangunkan Rex memerlihatkan cermin kecil padanya. Dan berujar, "Rex Rex Rex, coba lihat sini. Ada kucing lho."
Yang mana setelahnya Rex mengamuk, memukul Eizer, dan mengujarkan kata di atas.
Oke, ini salah Eizer dan ia kini mundur perlahan, sembari berujar, "Dasar jahat."
"Kamu yang kurang ajar, pergi sana. Ke perpus kah atau ke kelas, ikutin pelajaran dengan baik dan benar."
"Cih." Eizer memandang ke samping, "Aku engga mau dengar itu dari orang yang bolos."
"Kamu yang ngajak tolong aja."
"Kenapa kamu ikutin?"
"Ya gara-gara kamu maksa, bego!"
"Kamu juga balik ke kelas dong."
"Mau tidur."
Akhirnya Eizer keluar dari ruang musik sembari menggembungkan pipi. "Patterson jahat, Patterson jahat." Ia menyanyikan kata itu dengan nada yang baru saja ia buat-buat. Kini ia menuju ke perpustakaan, mengingat betapa malasnya ia mengikuti pelajaran. Bermain dengan Rex jauh lebih asik! ... Tetapi kini ia diusir.
Eizer memperhatikan orang yang di depannya sebelum menarik kursi diam-diam. Pemuda ini tak asing. Ah! Eizer pernah beberapa kali menangkap lelaki ini mengarahkan kamera ke dirinya dan Eizer selalu tersenyum lebar kepada kameranya. Aneh tiada bunyi kamera sebegitu ia mengarah, lelaki ini hanya mematung, bersemu, lalu kabur.
Dari dulu Eizer sudah penasaran dengannya, tetapi tidak tahu namanya sama sekali. Mengingat lingkup pertemanannya hanya Rex, Rex, dan Rex. Sehingga kini ia ini ada di depannya. Mungkin Eizer bisa mengetahui namanya, tetapi ia lagi tidur. Ugh, mana mungkin Eizer tega membangunkannya.
Rambutnya kelihatan halus, jemari Eizer pun mengikuti benaknya. Menyentuh ujung rambutnya, sesekali mengelusnya. Halus, sesuai dugaan. Wajahnya kelihatan nyaman sekali, syukurlah. Entah mengapa rasanya Eizer ikut hangat melihatnya.
Eizer mengecek jam, beberapa menit lagi sebelum bel berbunyi. Kali ini Rex pasti sudah tidak marah, yakinnya dalam hati (semoga saja).
Ia kembali menatap lelaki di depannya. Jemari masih mengelusnya. Kali ini Eizer berani menghilangkan jarak aman, tubuhnya tepat di atas anak tersebut. Atas dorongan naluri mungkin ya, Eizer mengecup puncak kepalanya dan berbisik:
"Lain kali harus foto aku ya."
Kemudian Eizer pergi.
.
.
.
Hah? Ian pasti bermimpi, 'kan?
Tadi ia bermimpi Eizer sedang mengelus rambutnya dan berbisik, "Lain kali harus foto aku ya." Tetapi pada saat Ian terbangun tiada siapa pun.
Kehangatan napasnya masih tersisa. Ian juga mengingat bagaimana surainya disentuh. Bagaimana mimpi bisa senyata itu? Tetapi bagaimana mungkin juga Eizer berujar demikian? Dan oh iya, yang paling penting. Kecupan kecil itu.
Ah ... Ian tak tahu lagi. Hari ulang tahunnya yang ke lima belas, memimpikan Eizer adalah yang terbaik.[]
.
.
.